
Dihantui "Setan" Taper Tantrum, Rupiah Tembus Rp 14.300/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah kembali tertekan melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Selasa (4/1) melanjutkan kinerja negatif perdagangan perdana 2022 kemarin. Kenaikan tajam yield obligasi AS (Treasury) menjadi pemicu pelemahan rupiah.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,08% ke Rp 14.275/US$. Depresiasi rupiah bertambah hingga 0,25% ke Rp 14.300/US$, pada pukul 10:20 WIB.
Kenaikan tajam yield Treasury membuat indeks dolar AS melesat 0,27% ke 96,226. Kenaikan tajam indeks dolar AS tersebut mengikuti pergerakan yield obligasi AS (Treasury) tenor 2 tahun yang sensitif dengan kenaikan suku bunga acuan naik 4,17 basis poin ke 0,7758% yang merupakan level tertinggi sejak Maret 2020.
Sementara Treasury tenor 10 tahun melesat 12,49 basis poin ke 1,6367% yang merupakan level tertinggi dalam 6 pekan terakhir.
Pergerakan tersebut mengindikasikan pelaku pasar mulai mengantisipasi kenaikan suku bunga di Amerika Serikat di tahun ini. Bank sentral AS (The Fed) diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun ini, dan kenaikan pertama bisa terjadi di bulan Maret, atau kurang dari 3 bulan lagi.
Data dari perangkat FedWatch milik CME Group menunjukkan pelaku pasar melihat adanya probabilitas lebih dari 50% The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5% pada Maret.
Spekulasi tersebut lebih cepat dari sebelumnya Juni 2022.
Normalisasi kebijakan moneter yang dilakukan bank sejak November lalu direspon kalem oleh pelaku pasar, tidak ada gejolak seperti tahun 2013, yang disebut taper tantrum. Rupiah terpuruk saat itu, sebab yield Treasury meroket dan memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia.
Kini melihat yield Treasury AS yang mulai menanjak, membuat pelaku pasar mulai was-was akan kembali munculnya "setan" taper tantrum yang membuat berbagai aset berguguran di tahun 2013.
Meski demikian, skala taper tantrum jika terjadi tidak akan sebesar ataupun selama hampir satu dekade yang lalu jika melihat reaksi pasar. Dari pasar obligasi dalam negeri, yield Surat Berharga Negara (SNB) tenor 10 tahun masih stagnan di 6,368%, belum terlihat kenaikan yield akibat terjadinya capital outflow.
Sehingga, rupiah masih bisa bertahan dari tekanan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
