Rupiah Kurang Bertenaga di Awal 2022, Ada Apa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah membuka perdagangan 2022 dengan menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS). Tetapi sayangnya di penutupan perdagangan rupiah justru berakhir di zona merah.
Beberapa data dari dalam negeri, serta peluang kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS) menjadi penggerak rupiah hari ini.
Melansir data dari Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,11% ke Rp 14.235/US$. Beberapa menit kemudian, rupiah langsung melemah hingga 0,14% ke Rp 14.270/US$ dan tertahan di zona merah hingga akhir perdagangan.
Di penutupan, rupiah berada di Rp 14.264/US$, melemah 0,1% di pasar spot.
Bank sentral AS (The Fed) yang berpeluang menaikkan suku bunga di bulan Maret membuat rupiah kurang pede untuk terus menguat.
Data dari perangkat FedWatch milik CME Group menunjukkan pelaku pasar melihat adanya probabilitas lebih dari 50% The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5% pada Maret tahun depan.
Spekulasi tersebut lebih cepat dari sebelumnya Juni 2022, dan semakin menguat setelah Departemen Perdagangan AS pekan lalu melaporkan inflasi PCE di bulan November melesat 5,7% year-on-year (yoy). Inflasi di bulan November tersebut merupakan pertumbuhan tertinggi sejak Juli 1982.
Sementara inflasi inti PCE tumbuh 4,7%, tertinggi sejak September 1983.
Inflasi PCE merupakan acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter. Semakin tinggi inflasi maka The Fed bisa lebih cepat menaikkan suku bunga.
Selain kemungkinan kenaikan suku bunga di AS kurang dari 3 bulan ke depan, perdagangan yang masih cenderung sepi juga membuat rupiah kurang bertenaga. Hal ini terlihat dari perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) dimana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu melesat lebih dari 1%, tetapi nilai transaksinya masih di bawah Rp 10 triliun.
Sementara itu dari dalam negeri aktivitas manufaktur yang dilihat dari purchasing managers' index (PMI) yang mengalami pelambatan.
IHS Markit melaporkan PMI manufaktur Indonesia pada bulan Desember sebesar 53,5. sedikit melambat dari bulan sebelumnya 53,9.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi.
Skor PMI manufaktur Desember 2021 jadi yang terendah dalam tiga bulan terakhir.
Meski ekspansi sektor manufaktur sedikit mengalami pelambatan, namun Jingyi Pan, Economics Associate Director IHS Markit mengatakan secara keseluruhan sentimen sangat positif.
"Namun demikian, keseluruhan sentimen bertahan sangat positif, dengan tingkat kepercayaan diri bisnis di atas rata-rata jangka panjang menunjukkan bahwa manufaktur Indonesia masih optimis terhadap pertumbuhan produksi berkelanjutan selama periode tahun 2022," kata Jingyi Pan.
Kemudian Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data inflasi Indonesia periode Desember 2021. Hasilnya tidak jauh dari ekspektasi.
Kepala BPS Margo Yuwono melaporkan pada Desember 2021 terjadi inflasi 0,57% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Dibandingkan Desember 2020 (year-on-year/yoy), inflasi tercatat 1,87%.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan terjadi inflasi 0,52% mtm pada Desember 2021. Secara tahunan, laju inflasi diperkirakan 1,81%.
Bank Indonesia (BI) melalui Survei Pemantauan Harga (SPH) hingga pekan IV memperkirakan inflasi Desember 2021 sebesar 0,49% mtm. Ini membuat inflasi sepanjang 2021 menjadi 1,79%.
Setiap Desember, inflasi tahunan akan sama dengan tahun kalender atau tahun berjalan (year-to-date/ytd). Jadi inflasi sepanjang 2021 adalah 1,87%, sama seperti inflasi tahunan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)