Rupiah Sudah 3 Hari Tak Mampu Menguat, Ini Penyebabnya!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
29 December 2021 15:10
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (29/12). Dengan demikian dalam 3 hari perdagangan di pekan ini rupiah belum pernah menguat, padahal pada pekan lalu sukses membukukan penguatan 4 hari beruntun dengan total lebih dari 1%.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,04% ke Rp 14.230/US$. Sempat berbalik menguat 0,04%, rupiah kemudian malah semakin terdepresiasi hingga 0,32% di Rp 14.270/US$.

Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.250/US$, melemah 0,18% di pasar spot. Kemarin rupiah berakhir stagnan, sementara di awal pekan melemah tipis 0,04%. 

Kabar baik dari Afrika Selatan (Afsel) sebenarnya bisa membuat rupiah menguat pada hari ini. Tetapi kabar baik tersebut sekaligus melapangkan jalan bagi bank sentral AS (The Fed) untuk menaikkan suku bunga 3 bulan lagi.

Hasil studi terbaru menunjukkan orang-orang yang terinfeksi Omicron, terutama yang sudah divaksin memiliki, akan memiliki imun yang lebih kuat dalam menghadapi varian Delta.

Reuters melaporkan, riset tersebut baru dilakukan terhadap sekelompok kecil, hanya 33 orang yang sudah divaksin dan belum. Hasilnya, netralisasi virus Omicron meningkat 14 kali lipat selama 14 hari setelah terinfeksi, dan netralisasi varian naik 4,4 kali lipat.

"Peningkatan netralisasi varian Delta pada individu yang terinfeksi Omicron dapat menurunkan kemampuan Delta untuk menginfeksi kembali individu tersebut," kata para ilmuwan, sebagaimana diwartakan Reuters, Selasa (27/12).

Hasil riset tersebut juga dikatakan konsisten dengan temuan sebelumnya yakni Omicron menggantikan varian Delta karena individu yang terinfeksi memperoleh kekebalan yang menetralisir Delta.

Penelitian tersebut memberikan harapan Omicron akan menjadi akhir dari pandemi Covid-19, apalagi jika ada riset yang lebih luas juga menunjukkan hal yang sama.

Jika benar Omicron bisa menjadi akhir dari pandemi, maka The Fed kemungkinan tidak akan ragu lagi menaikkan suku bunga di bulan Maret 2022.

"Kami tidak yakin Omicron akan mempengaruhi outlook pertumbuhan ekonomi secara signifikan, justru sepertinya akan mempercepat akhir pandemi," tutur analis JPMorgan Dubravko Lakos-Bujas, seperti dikutip CNBC International.

Data dari perangkat FedWatch milik CME Group menunjukkan pelaku pasar melihat adanya probabilitas lebih dari 50% The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5% pada Maret tahun depan.

Spekulasi tersebut lebih cepat dari sebelumnya Juni 2022, dan semakin menguat setelah Departemen Perdagangan AS pekan lalu melaporkan inflasi PCE di bulan November melesat 5,7% year-on-year (yoy). Inflasi di bulan November tersebut merupakan pertumbuhan tertinggi sejak Juli 1982.

Sementara inflasi inti PCE tumbuh 4,7%, tertinggi sejak September 1983.

Inflasi PCE merupakan acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter. Semakin tinggi inflasi maka The Fed bisa lebih cepat menaikkan suku bunga.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Penyebab Rupiah Menguat 4 Pekan Beruntun, Terbaik di Asia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular