
Pecinta Uang Asing Awas! Ada Sinyal Dolar AS Bakal "Dibuang"

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) masih biasa-biasa saja meski bank sentralnya (Federal Reserve/The Fed) mempercepat normalisasi kebijakan moneternya. The Fed juga memberikan indikasi bisa menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun depan, yang seharusnya bisa mendongkrak kinerja dolar AS. Nyatanya dalam dua hari terakhir indeks dolar AS malah melemah.
Posisi spekulatif dolar AS hanya mengalami kenaikan tipis beberapa hari menjelang pengumuman kebijakan moneter The Fed Kamis (16/12) dini hari waktu Indonesia pekan lalu. Padahal, isu percepatan normalisasi kebijakan moneter sudah berhembus kencang beberapa hari sebelumnya.
Data dari Commodity Futures Trading Commission (CTFC) AS menunjukkan posisi beli bersih (net long) dolar AS naik menjadi US$ 19,51 miliar dalam sepekan yang berakhir 14 Desember, dari pekan sebelumnya sebesar US$ 19,46 miliar.
Kenaikan tersebut terbilang kecil jika melihat The Fed yang agresif dalam menormalisasi kebijakan moneternya. Posisi spekulatif tersebut merupakan dolar AS terhadap yen, poundsterling, euro, franc, dolar Kanada dan Australia.
Sementara untuk posisi spekulatif terhadap mata uang yang lebih luas, termasuk beberapa mata uang emerging market, posisi net long dolar AS malah turun menjadi US$ 19,67 miliar dari sebelumnya US$ 19,9 miliar.
![]() |
Data tersebut menunjukkan daya tarik dolar AS mulai terkikis, terutama di hadapan mata uang emerging market yang memberikan imbal hasil lebih tinggi.
Hal tersebut tidak lepas dari tingginya inflasi di Amerika Serikat yang membuat riil yield masih akan negatif meski The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun depan.
Saat ini yield Treasury tenor 10 tahun berada di 1,46%. Jika tahun depan The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali sebesar 75 basis poin, hitung-hitungan kasar yield Treasury juga akan ikut naik 75 basis poin sehingga menjadi sekitar 2,2%.
Sementara inflasi di tahun depan, The Fed memperkirakan sebesar 2,6%, lagi-lagi hitungan kasar, riil yield di AS masih akan negatif sekitar 0,4%.
Itu jika inflasi mampu ditekan hingga 2,6%, sementara banyak analis yang memprediksi inflasi di Amerika Serikat masih akan tetap tinggi di tahun depan.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di Amerika Serikat pada bulan November tumbuh 6,8% year-on-year (yoy) menjadi yang tertinggi sejak 1982 lainnya.
The Fed menggunakan inflasi yang dilihat dari personal consumption expenditure (PCE) sebagai acuan. Di bulan Oktober inflasi PCE melesat 5% (yoy), menjadi yang tertinggi sejak November 1990.
Sementara inflasi inti PCE yang tidak memasukkan item energi dan makanan dalam perhitungan tumbuh 4,1% (yoy), berada di level tertinggi sejak Januari 1991.
Artinya, jika inflasi masih tinggi, maka riil yield di AS masih akan negatif cukup dalam, sehingga tetap kurang menarik jika dibandingkan dengan riil yield negara emerging market yang tinggi, seperti Indonesia misalnya.
Yield Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia tenor 10 tahun di kisaran 6,4%. Direktur Riset BRI Research Institute, Anton Hendranata memprediksi inflasi domestik di tahun 2022 bisa menyentuh 2,8% -3,3%.
Meskipun inflasi di tahun depan diperkirakan akan meningkat, riil yield masih akan tetap positif sekitar 3%.
Artinya, selama roda perekonomian global tidak terganggu lagi akibat virus corona Omicron, maka dolar AS berisiko "dibuang".
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Segini Harga Jual Beli Kurs Rupiah di Money Changer