
Omicron Tiba, Window Dressing Telat atau Batal Nih?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham Tanah Air biasanya mengalami anomali di penghujung tahun. Setidaknya dalam satu dekade terakhir, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan kinerja positif dengan return bulanan lebih dari 3% di bulan Desember.
Pelaku pasar mengenal fenomena tersebut dengan istilah window dressing. Secara sederhana window dressing diartikan sebagai sebuah aksi yang dilakukan oleh manajer investasi untuk mempercantik laporan keuangan atau laporan investasi dengan melakukan pembelian terhadap beberapa saham yang menjadi komponen investasi terbesar MI tersebut.
Sebagai pemilik dana yang besar, aksi pembelian secara kolektif tersebut berpeluang besar mengerek harga suatu saham. Ketika harganya naik, tentu saja di laporan keuangan atau investasi akan dicatatkan sebagai gain. Inilah yang disebut sebagai window dressing.
Namun sebenarnya saham-saham seperti apa yang selama ini jadi target window dressing? Bagaimana pula ciri-cirinya?
Tentu saja memetakan saham-saham target window dressing sangatlah susah mengingat ada lebih dari 700 saham yang diperdagangkan di bursa domestik. Apalagi pandangan dan strategi investasi para pengelola dana juga berbeda-beda.
Hanya saja ada beberapa hal yang bisa memberikan gambaran saham-saham window dressing ini. Ciri yang paling kentara adalah saham tersebut memiliki bobot yang besar terhadap dana kelolaan suatu MI dimana saham-saham dengan kategori ini biasanya merupakan saham-saham dengan kapitalisasi pasar yang jumbo dan perdagangan yang likuid.
Saham-saham dengan market cap besar tersebut biasanya likuid ditransaksikan dan setidaknya memiliki bobot 2% indeks. Tidak hanya nilai kapitalisasi pasarnya yang besar, saham-saham yang berpotensi terkena window dressing juga haruslah dimiliki oleh banyak manajer investasi dengan porsi yang lumayan besar.
Tim Riset CNBC Indonesia menilai setidaknya ada 10% dari total saham outstanding tersebut dimiliki oleh manajer investasi. Jika mengacu pada dua kriteria di atas maka didapatlah ada 7 saham yang prospektif.
Lima dari 7 saham tersebut berasal dari sektor perbankan, satu dari sektor telekomunikasi dan satu lagi merupakan emiten konglomerasi. Ketujuh saham tersebut adalah saham PT Bank Central Asia Tbk (ASII), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Astra International Tbk (ASII), PT Bank Jago Tbk (ARTO) hingga PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI).
Berdasarkan perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia dengan menggunakan pendekatan nilai kapitalisasi pasar, maka ketujuh saham tersebut memiliki bobot setidaknya 38% dari indeks. Artinya jika saham-saham tersebut naik 1-5% saja, IHSG akan ikut terkerek sebesar 0,5-2% dengan asumsi saham lain stagnan.
Dari ketujuh saham tersebut yang mampu mencatatkan kinerja positif sepanjang bulan Desember ini baru ada 3 yaitu BBCA, TLKM dan BMRI. Harga saham ketiganya naik lebih dari 1%. Sementara keempat saham lain cenderung terkoreksi.
Saham TLKM menjadi jawara saham big cap di bulan Desember ini dengan kenaikan 4,26% setelah lama cenderung stagnan. Katalis positifnya adalah perbaikan kinerja keuangan emiten BUMN yang satu ini.
Saham | Mkt Cap | Bobot Indeks | Jumlah Investor Institusi | Saham Investor Institusi | % Saham Investor Institusi/Total | Kinerja MTD |
BBCA | 909.15 | 12% | 389 | 24.47 Miliar | 20.00% | 1.37% |
BBRI | 682.31 | 9% | 344 | 27.35 Miliar | 18.23% | -0.24% |
TLKM | 412.1 | 5% | 312 | 18.86 Miliar | 19.03% | 4.26% |
BMRI | 333.41 | 4% | 273 | 8.14 Miliar | 17.63% | 2.14% |
ASII | 228.73 | 3% | 239 | 6.43 Miliar | 15.87% | -2.16% |
ARTO | 218.58 | 3% | 50 | 1.44 Miliar | 10.47% | -0.32% |
BBNI | 124.65 | 2% | 182 | 3.36 Miliar | 18.19% | -1.47% |
Di saat yang sama saat ketiga saham big cap tersebut bergerak naik, IHSG juga ikut terkerek naik sebesar 0,31%. Apabila mengacu pada tren historis window dressing dalam satu dekade terakhir, maka IHSG masih punya peluang untuk naik 2,7% lagi hingga akhir Desember.
Namun bulan Desember tinggal menghitung hari saja. Kalau mengacu pada fenomena santa clause rally di AS yang berlangsung jelang natal, maka pelaku pasar masih bisa berharap akan ada inflow masuk ke saham-saham tersebut yang mengerek IHSG naik bulan ini.
Hanya saja faktor yang perlu diperhatikan adalah window dressing bukanlah keharusan, sehingga bisa saja fenomena itu tak terjadi. Hal ini sangat mungkin apalagi di tengah sentimen negatif mutasi virus Covid-19 jenis baru yakni Omicron yang masih menghantui pasar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000