
Biden Pening karena Kabar Buruk Ini, Ekonomi AS Terancam

Jakarta, CNBC Indonesia - Beberapa ekonom memperkirakan ekonomi Amerika Serikat (AS) akan tumbuh lebih lambat Di tahun 2022 mendatang. Hal ini sebagai dampak dari digagalkannya rencana belanja yang diajukan Presiden Joe Biden oleh parlemen.
Biden sebelumnya mengusulkan anggaran pengeluaran senilai US$ 1,75 triliun atau setara Rp 25 ribu triliun. Usulan ini bahkan mendapatkan pertentangan dari beberapa anggota parlemen dari Partai Demokrat yang merupakan pengusungnya di pilpres tahun lalu.
Ekonom menurunkan pertumbuhan produk domestik bruto di tahun 2022 menjadi 4% pada kuartal pertama 2022 dari yang diharapkan sebelumnya yakni 6%. Mark Zandi, kepala ekonom untuk Moody's Analytics, mengatakan bahwa penurunan ini diakibatkan turunnya kepercayaan diri ekonom mengenai nasib penanggulangan pandemi di AS, apalagi setelah muncul varian Omicron.
"Jika BBB (program 'Bulit Back Better' milik Biden) tidak menjadi undang-undang, pemulihan ekonomi akan rentan terhenti jika kita mengalami gelombang pandemi yang serius; skenario yang semakin mungkin dengan Omicron menyebar dengan cepat," tulis Zandi di Twitter pada hari Senin, (20/12/2021).
Tak hanya Zandi, Goldman Sachs juga mengatakan bahwa kematian nyata dari rencana pengeluaran Biden dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi AS. Ini otomatis menghalangi niat bank sentral AS untuk menaikkan suku bunga meski inflasi sudah cukup tinggi.
"Anggota parlemen dapat meloloskan versi modifikasi dari tagihan pengeluaran Biden tahun depan atau memutuskan untuk memperpanjang kredit secara surut, meskipun negosiasi bisa memakan waktu berminggu-minggu," tulis peneliti Goldman Sachs dalam sebuah catatan kepada klien.
Lonjakan infeksi Covid-19 mulai mepengaruhi beberapa bisnis di New York dan di wilayah lainnya. Ini telah menyebabkan pembatalan acara, penutupan restoran, dan penundaan rencana kembali ke kantor.
Meski begitu, dampak varian Omicron belum terlihat pada indikator frekuensi tinggi yang dilacak oleh para ekonom Jefferies. Namun mereka memperingatkan bukan berarti itu tidak terjadi.
"Terlalu dini untuk ditampilkan dalam data aktivitas," tulis ekonom Jefferies Aneta Markowska.
Mengutip Worldometers, AS mencatat rekor 163.707 kasus baru Covid-19 aluir pekan kemarin. Sekitar 3% adalah Omicron. Pusatnya ada di New York dan New Jersey. CDC mencatat kasus Omicron mencapai 13% dan diyakini makin laik seiring tingginya penularan.
AS kini memiliki 51,6 juta kasus Covid-19 dengan 826 ribu kematian sejak Covid-19 menyerang. AS masih menjadi negara tengan kasus terbanyak di dunia.
(tps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Biden Pilih Powell Pimpin The Fed