Breaking News

Mayday...mayday! Tak Kuat Tekanan, IHSG Ambrol 1%

Tri Putra, CNBC Indonesia
20 December 2021 14:07
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) semakin ambles terkoreksi sebesar 1% ke level 6.535,75 pada-awal perdagangan sesi II 2021.

IHSG semakin terlempar jauh dari level 6.600. Di sepanjang perdagangan indeks bergerak di rentang 6.537 sebagai level terendah dan 6.579.
Bersamaan dengan koreksi yang terjadi di IHSG asing juga net sell di pasar reguler Rp 291 miliar.

Akhir pekan lalu kinerja bursa saham AS terbilang buruk. Indeks Dow Jones ambles 1,48%. Indeks S&P 500 melemah 1,03% sedangkan Nasdaq Composite melemah tipis 0,07%.

Hingga siang ini mayoritas bursa saham Asia juga bergerak di zona merah dengan indeks Nikkei memimpin pelemahan dengan koreksi lebih dari 2%.
Sepekan jelang libur Natal, pasar berpeluang melihat kenaikan volatilitas di tengah meningkatnya kasus Covid-19 di negara-negara maju yang memicu kebijakan pembatasan sosial (lockdown).

Volatilitas terjadi karena ketidakseragaman arah narasi terkait prospek ekonomi dan bisnis. Di satu sisi, pelaku pasar mendapati fakta bahwa Omicron terbukti tidak memicu gejala yang parah, di sisi lain pemerintah negara maju bersikap reaktif dengan melakukan lockdown.

Terbaru, Walikota London Sadiq Khan mengumumkan status "insiden besar" pada hari Minggu kemarin, menyusul lonjakan infeksi Covid-19 akibat varian Omicron. Dia mempertimbangkan untuk kembali memberlakukan lockdown.

"Jika tak memberlakukan pembatasan baru lebih cepat dan malah menunda-nunda, anda akan melihat lebih banyak kaus positif dan berpotensi membuat layanan publik seperti NHS [National Health Service] di jurang keambrukan, jika tidak ambruk saat itu juga," tuturnya kepada BBC, Minggu (19/12/2021).

Omicron merupakan varian virus corona yang paling mudah menular dibandingkan varian lain meski hanya menimbulkan gejala ringan. Di Indonesia, varian tersebut sudah terkonfirmasi pada pekan lalu, dan memicu kekhawatiran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Selain Omicron, volatilitas di pasar keuangan juga dipicu oleh adanya sentiment dari kebijakan pengetatan moneter yang sudah mulai dilakukan beberapa bank sentral seperti BoE dan yang paling banyak disorot adalah the Fed.

Meski Desember identik dengan fenomena reli yang disebut Santa Claus rally, hal tersebut umumnya terjadi pada sepekan terakhir Desember dan pekan pertama Januari. Untuk tahun ini, volume yang tipis menjadi risiko pemberat arah Wall Street di akhir tahun.

Menurut Stock Trader's Almanac, secara historis reli terjadi dalam 5 hari perdagangan terakhir pada Desember dan dua hari pertama Januari. Jika hal tersebut tidak terjadi, maka pasar saham biasanya masuk periode bearish, tertekan setidaknya 10% dari reli tertinggi yang pernah diraih.

"Memasuki dua pekan terakhir tahun ini, kita melihat bahwa volume perdagangan menipis dan volatilitas juga meningkat," tutur Jeff Kleintop, Kepala Perencana Investasi Global Charles Schwab, seperti dikutip CNBC International.


TIM RISET CNBC INDONESIA


(hps/hps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Pamer Kinerja IHSG, Lebih Cuan dari Negara Tetangga

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular