"Plan B" Inggris Untungkan Dolar AS, Rupiah dkk Rontok!
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah akhirnya melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (10/12) setelah membukukan penguatan tiga hari beruntun. Pelemahan di pasar spot tersebut turut membuat rupiah di kurs tengah Bank Indonesia (BI) melemah.
Melansir data dari BI, kurs tengah atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) hari ini berada di Rp 14.378/US$, melemah 0,19% dibandingkan posisi kemarin.
Sementara itu di pasar spot, rupiah melemah 0,14% di Rp 14.370/US% setelah sebelumnya sempat melemah 0,21% ke Rp 14.380/US$. Rupiah tidak sendirian, mayoritas mata uang utama Asia juga melemah melawan dolar AS. Hingga pukul 15:08 WIB Hanya yuan China dan dolar Taiwan yang menguat.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia
Penyebaran virus corona lagi-lagi membuat sentimen pelaku pasar memburuk. Dalam kondisi tersebut dolar AS yang menyandang status safe haven yang diuntungkan. Alhasil, mayoritas mata uang Asia rontok.
Inggris yang kembali mengetatkan pembatasan sosial memberikan sentimen negatif ke pasar finansial global. Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, kembali mengetatkan pembatasan sosial. Warga Inggris diminta untuk Work from Home (WfH), kemudian menggunakan masker di area publik, dan menggunakan syarat vaksinasi guna meredam penyebaran virus corona varian Omicron.
Johnson mengatakan Omicron yang menyebar dengan cepat membuatnya tidak punya pilihan selain menerapkan "Plan B", serta mempercepat program booster vaksin.
"Kami sedang melihat kehati-hatian di pasar karena Omicron. Ada kekhawatiran terkait kebijakan yang diambil pemerintah di berbagai negara guna meredam Omicron, dan 'Plan B' Inggris bisa menjadi contohnya," kata John Doyle, wakil presiden dealing dan trading di Tempus Inc. sebagaimana dilansir CNBC International.
Dolar AS sedang mendapat tenaga dari rilis data klaim tunjangan pengangguran yang berada di level terendah dalam 52 tahun terakhir. Hal tersebut menunjukkan pasar tenaga kerja yang semakin mengetat.
Kemarin, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan klaim tunjangan pengangguran mingguan sebanyak 184.000 orang, turun sebanyak 43.000 orang dari pekan sebelumnya. Jumlah klaim tersebut merupakan yang terendah sejak September 1969, dan lebih baik dari prediksi Reuters sebanyak 215.000 klaim.
Alhasil, indeks dolar AS menguat 0,4% ke 96,271 kemarin yang membuat rupiah tertekan pagi ini.
Selain itu, pelaku pasar juga menanti rilis data inflasi AS malam ini. Rilis data tersebut bisa menggambarkan seberapa "bebal" inflasi tinggi di AS yang bisa mempengaruhi kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed). Hasil survei Wall Street memprediksi inflasi akan melesat 6,7% year-on-year (yoy) yang merupakan level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Tingginya inflasi serta perekonomian yang kuat membuat The Fed mempertimbangkan untuk mempercepat tapering atau nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang saat ini senilai US$ 15 miliar setiap bulan. Apalagi dengan pasar tenaga kerja yang semakin ketat, tentunya akan menguat rencana The Fed untuk mempercepat normalisasi kebijakan moneternya.
Nilai QE bank sentral paling powerful di dunia ini sebesar US$ 120 miliar, dan tapering sudah mulai dilakukan pada November lalu. Artinya, hingga QE menjadi nol diperlukan waktu selama 8 bulan.
The Fed diperkirakan akan meningkatkan tapering hingga menjadi US$ 30 miliar per bulan, sehingga QE akan menjadi nol dalam waktu 4 sampai 5 bulan. Selain itu, The Fed juga diprediksi akan memberikan indikasi agresif menaikkan suku bunga di tahun depan yang bisa memberikan tekanan bagi rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)