Merahnya Wall Street Menular ke Bursa Saham Asia
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia dibuka di zona merah pada perdagangan Jumat (10/12/2021), menyusuli bursa saham Amerika Serikat (AS) yang juga ditutup di zona merah pada Kamis (9/12/2021) waktu setempat, karena investor cenderung wait and see jelang rilis data inflasi AS.
Indeks Nikkei Jepang dibuka melemah 0,56%, Hang Seng Hong Kong terpangkas 0,64%, Shanghai Composite China terkoreksi 0,47%, Straits Times Singapura terdepresiasi 0,24%, dan KOSPI Korea Selatan merosot 0,86%.
Dari Jepang, data inflasi dari sektor produsen (Producer Price Index/PPI) periode November 2021 telah dirilis pada pagi hari ini. Bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) melaporkan PPI Negeri Sakura hanya tumbuh 0,6% pada bulan lalu secara bulanan (month-on-month/MoM).
Angka itu melebihi ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan sebesar 0,3%, menyusul revisi naik 1,4% pada Oktober lalu (awalnya 1,2%).
Namun secara tahunan (year-on-year/YoY), PPI Jepang naik sebesar 9% pada bulan lalu, dari sebelumnya pada periode yang sama tahun 2020 sebesar 8%.
Hal ini didorong oleh kenaikan harga ekspor yang naik 0,5% pada November (MoM) dan 9,4% (YoY). Sedangkan harga impor melonjak 4,3% (MoM) dan 35,7% (YoY).
Bursa Asia cenderung mengikuti pergerakan bursa AS, Wall Street yang ditutup terkoreksi pada perdagangan Kamis (9/12/2021) waktu AS, karena investor cenderung wait and see jelang rilis data inflasi AS.
Indeks Dow Jones turun hanya satu poin ke level 35.754,69, S&P 500 merosot 0,72% ke posisi 4.667,45, dan Nasdaq Composite ambruk 1,71% menjadi 15.517,37.
Perdagangan saham berbalik arah dari sebelumnya sempat mencetak keuntungannya beberapa hari terakhir, didorong oleh keyakinan pelaku pasar bahwa virus corona (Covid-19) varian Omicron terlihat lebih ringan dari varian-varian lainnya, termasuk varian Delta.
"Kami pikir Covid-19 masih menjadi narasi utama bagi investor. Jadi kami pikir investor tidak hanya mengambil nafas, tetapi banyak mata beralih ke data ekonomi untuk mengukur ke mana The Fed mungkin melangkah dalam hal potensi tapering yang lebih cepat dan lebih besar," kata Greg Bassuk, CEO AXS Investments kepada CNBC Internasional.
Pasar sudah memprediksi bahwa pembacaan inflasi berikutnya akan kembali meninggi, dengan beberapa ekonom memproyeksikan kemungkinan bahwa angka utama termasuk makanan dan energi bisa melebihi 7%.
Kondisi tersebut dapat menimbulkan risiko bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan bergerak lebih cepat dari yang sudah diantisipasi. Pejabat The Fed diperkirakan akan bereaksi terhadap ledakan inflasi dengan mengumumkannya pada pekan depan bahwa The Fed akan mulai menarik kembali stimulus ekonominya.
Langkah pertama adalah mempercepat pengurangan pembelian obligasi bulanan atau tapering. Pasar memprediksi bahwa The Fed akan menggandakan tapering menjadi US$ 30 miliar.
Hal itu dapat juga membuka jalan bagi The Fed untuk menaikan suku bunga lebih cepat dari yang ditentukan sebelumnya, yakni setelah musim semi tahun 2022. Hal ini juga menandai bahwa adanya poros kebijakan The Fed terbaru di bawah sang ketua, yakni Jerome Powell.
Meskipun sentimen pasar cenderung negatif dan pasar juga cenderung menahan selera risikonya. Tetapi ada sedikit kabar baik yang datang dari data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam.
Kemarin, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan klaim awal untuk asuransi pengangguran berjumlah 184.000, dibandingkan dengan 211.000 yang diperkirakan oleh ekonom yang disurvei oleh Dow Jones.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)