Analisis

Tekanan Belum Berakhir, Rupiah Bisa 13 Hari Tanpa Menguat!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Selasa, 07/12/2021 07:10 WIB
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sudah 12 hari beruntun tidak pernah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga Senin kemarin. Rinciannya, sebanyak 10 kali melemah dan 2 kali stagnan. Tekanan bagi rupiah masih datang dari kemungkinan bank sentral AS (The Fed) yang akan mempercepat normalisasi kebijakan moneter, serta penyebaran virus corona varian Omicron.

Dua faktor tersebut masih akan menekan rupiah pada perdagangan Selasa (7/12), apalagi indeks dolar AS sedang menguat lagi. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut pada perdagangan Senin menguat 0,18% ke 96,29, melansir data Refinitiv. Sedangkan rupiah kemarin mencatat pelemahan 0,28% ke Rp 14.435/US$, yang merupakan level penutupan terlemah sejak 20 Agustus lalu. 

Sementara itu, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, Hariyadi Ramelan kepada CNBC Indonesia mengatakan Bank Indonesia akan berada di pasar untuk menjamin kestabilan nilai tukar rupiah. Sederet langkah intervensi siap untuk dilakukan bila kondisi mendesak.


"Jadi kami memantau situasi ini dengan closely alert dan tentunya terus berada di pasar valas dan rupiah domestik untuk memastikan kecukupan supply valas dengan adanya profit taking atau peningkatan demand ini," jelasnya.

BI memiliki beberapa instrumen yang dikenal dengan nama triple intervention, baik di Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), di pasar spot, sampai ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Dengan demikian diharapkan rupiah kembali stabil dan bergerak sesuai fundamentalnya. Apalagi di sisi lain imbal hasil yang ditawarkan ke investor masih sangat menarik.

"BI akan selalu jaga nilai tukar rupiah sesuai fundamentalnya, terlebih CDS masih relatif stabil dan attractiveness SBN kita masih tetap menarik dibanding peers country," ujar Hariyadi.

"Kami meyakini kondisi saat ini temporer dan BI terus menjaga pasar domestik dengan respon bauran kebijakan yang terukur baik dari sisi nilai tukar, manajemen likuiditas yang tetap akomodatif dan instrumen GWM maupun kebijakan suku bunga yang terukur dan timely dengan tetap melihat perkembangan eksternal seperti FOMC 13-14 Desember nanti," paparnya.

Jika dilihat secara teknikal, tekanan bagi rupiah masih besar setelah bergerak di atas rerata pergerakan 50 hari (Moving Average 50/MA 50), MA 100, dan MA 200.

Selain itu, rupiah juga membentuk pola Inverse Head and Shoulders yang menjadi sinyal kenaikan suatu aset. Dalam hal ini USD/IDR bergerak naik yang artinya rupiah mengalami pelemahan.

Puncak bawah Inverse Head and Shoulders berada di Rp 14.020/US$ sementara Neckline berada di kisaran Rp 14.330/US$. Artinya ada jarak sebesar 290 poin.

Ketika Neckline ditembus (break out), maka rupiah berisiko melemah sebesar jarak tersebut. Artinya, selama rupiah tertahan di atas Rp 14.330/US$, ada risiko melemah 290 poin ke Rp 14.620/US$.

Rupiah bisa lepas dari pola ini dan berbalik menguat di Desember jika mampu kembali ke bawah Rp 14.320/US$, dan bertahan di bawahnya.

Grafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Foto: Refinitiv

Sementara pekan ini, ada peluang rupiah menguat melihat indikator Stochastic yang sudah berada di wilayah jenuh beli (oversold).

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.

Ketika USD/IDR mencapai overbought, maka kemungkinan akan berbalik turun.

Support terdekat berada di kisaran Rp 14.400/US$, penembusan di bawah level tersebut akan membuka peluang penguatan ke Rp 14.350/US$.

Sementara itu resisten terdekat berada di kisaran Rp 14.450/US$ jika ditembus rupiah berisiko melemah ke Rp 14.500/US$.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Bikin Rupiah Anjlok, Tembus Rp 16.400-an per Dolar AS