
Bursa Asia Bangkit, tap IHSG Loyo Sendirian

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia ditutup cerah pada perdagangan Rabu (1/12/2021), di mana investor kembali memburu saham setelah sebelumnya melakukan aksi jual karena khawatir dengan varian virus corona (Covid-19) baru yakni Omicron.
Indeks Nikkei Jepang ditutup menguat 0,41% ke level 27.935,62, Hang Seng Hong Kong melesat 0,78% ke 23.658,92, Shanghai Composite China bertambah terapresiasi 0,36% ke 3.576,89, Straits Times Singapura melonjak 1,87% ke 3.098,25, dan KOSPI Korea Selatan meroket 2,14% ke 2.899,72.
Sementara untuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,4% ke level 6.507,68 pada perdagangan hari ini.
Cerahnya sebagian besar pasar saham Asia pada hari ini terjadi karena didorong oleh data aktivitas manufaktur di beberapa negara Asia yang positif pada bulan lalu, sehingga membantu menaikan kembali sikap optimisme pasar.
Dari Jepang, Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Manager's Index/PMI) manufaktur versi Jibun Bank/Markit tercatat naik atau berekspansi ke angka 54,5 pada bulan ini, dari sebelumnya pada bulan lalu yakni Oktober di angka 53,2.
Selain Jepang, PMI manufaktur Korea Selatan pada bulan lalu juga tercatat naik. Markit melaporkan PMI manufaktur Negeri Ginseng naik menjadi 50,9 pada November, dari sebelumnya pada Oktober lalu di angka 50,2.
Namun di China, PMI manufaktur versi Caixin/Markit dilaporkan turun menjadi 49,9 pada bulan lalu, dari sebelumnya pada Oktober lalu sebesar 50,6.
Padahal pada Selasa (30/11/2021) kemarin, PMI manufaktur China versi NBS dilaporkan naik menjadi 50,1 pada November 2021, dari sebelumnya pada Oktober lalu di angka 49,2.
Data PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di atas 50 artinya ekspansi, sementara di bawahnya berarti kontraksi.
Sebagian besar investor di Asia pada hari ini mengalihkan sejenak perhatiaannya dari seputaran varian Omicron ke pernyataan ketua bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell yang berencana untuk mempercepat proses pengurangan pembelian obligasi atau tapering.
Dalam pidato di hadapan komite Senat, Powell berpikir bahwa pengurangan laju pembelian obligasi bulanan bisa dilakukan lebih cepat daripada jadwal US$ 15 miliar per bulan yang diumumkan awal bulan ini.
"Pada titik ini, ekonomi sangat kuat dan tekanan inflasi lebih tinggi, dan oleh karena itu, menurut pandangan saya, mempertimbangkan untuk mengakhiri pembelian aset kami ... mungkin beberapa bulan lebih cepat," kata Powell, dilansir CNBC International.
Dengan demikian, komentar Powell di atas menunjukkan bahwa fokus The Fed kini telah berubah untuk memerangi inflasi dan dampak negatifnya ketimbang potensi gangguan dalam kegiatan ekonomi akibat adanya varian baru Covid-19.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bursa Asia Mayoritas Dibuka Hijau, KOSPI Memimpin!
