
Bukan Omicron, Ini Pemicu Penguatan Kurs Dolar Singapura

Jakarta, CNBC Indonesia - Virus corona varian Omicron sedang menghantui pasar finansial global. Rupiah yang merupakan mata uang emerging market mengalami tekanan akibat memburuknya sentimen pelaku pasar. Nilai tukar dolar Singapura akhirnya menguat cukup tajam melawan rupiah pada perdagangan hari ini, Senin (29/11), tetapi bukan Omicron penyebab utamanya.
Pada pukul 12:45 WIB, SG$ 1 setara Rp 10.457,56, dolar Singapura menguat 0,3% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Rupiah memang terpuruk sejak awal perdagangan hari ini, gegara virus Omicron. Tetapi siang ini, rupiah sebenarnya sudah bangkit dan stagnan melawan dolar Amerika Serikat (AS). Tetapi, dolar Singapura masih tetap kokoh di hadapan rupiah.
Selain karena faktor teknikal, rilis data dari Singapura menunjukkan potensi pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut.
Sebelum hari ini, dolar Singapura sudah melemah dalam 13 dari 15 hari perdagangan dan berada di dekat level terendah dalam satu tahun terakhir.
Hal tersebut tentunya memicu koreksi teknikal yang membuat dolar Singapura menguat.
Selain itu, Singapura hari ini melaporkan inflasi sektor produsen (producer price index/PPI) yang melesat ke level tertinggi dalam 40 tahun terakhir. PPI bulan Oktober dilaporkan melesat 25,4% year-on-year (YoY), jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 21,3% YoY. Inflasi sektor produsen tersebut menjadi yang tertinggi sejak Maret 1980.
Ketika inflasi sektor produsen tinggi, maka harga jual produk kemungkinan akan dinaikkan dan berdampak pada inflasi konsumen (consumer price index/CPI).
Inflasi CPI yang tinggi membuat Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) mengetatkan kebijakan moneternya pada pertengahan Oktober lalu, dan membuka peluang pengetatan lagi di tahun depan.
Pada pekan lalu, pemerintah Singapura melaporkan inflasi CPI tumbuh 3,2% YoY di bulan Oktober, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 2,5%, dan berada di level tertinggi sejak Maret 2013.
Inflasi inti yang tidak memasukkan beberapa item yang volatil naik 1,5% YoY, lebih tinggi dari sebelumnya 1,2%. Inflasi inti tersebut merupakan yang tertinggi sejak Maret 2019.
Inflasi inti tersebut menjadi perhatian MAS karena dijadikan acuan dalam menetapkan kebijakan moneter.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article IHSG Ambruk, Kurs Dolar Singapura Cetak Rekor Termahal
