Bursa Asia Rontok, Kasus Evergrande Bangkitkan Isu Likuiditas

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
18 November 2021 16:53
Investors look at computer screens showing stock information at a brokerage house in Shanghai, China September 7, 2018. REUTERS/Aly Song
Foto: Bursa China (Reuters/Aly Song)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia kembali ditutup melemah pada perdagangan Kamis (18/11/2021),menyusul koreksi bursa saham Amerika Serikat (AS) semalam, karena investor khawatir dengan inflasi global yang meninggi.

Hanya indeks Straits Times Singapura yang masih mampu bertahan di zona hijau, meskipun penguatannya juga cenderung tipis-tipis. Indeks saham acuan Negeri Singa tersebut ditutup menguat 0,13% ke level 3.237,02.

Sementara sisanya ditutup di zona merah pada perdagangan hari ini. Indeks Nikkei Jepang ditutup melemah 0,3% ke level 29.598,66, Hang Seng Hong Kong ambruk 1,29% ke 25.319,72, Shanghai Composite China terkoreksi 0,47% ke 3.520,71, KOSPI Korea Selatan terdepresiasi 0,51% ke 2.947,38, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpangkas 0,59% ke posisi 6.636,469.

Indeks Hang Seng memimpin pelemahan bursa Asia pada hari ini karena tertekan oleh saham sektor teknologi jelang rilis kinerja keuangan kuartal III-2021 di tengah kekhawatiran peraturan dari pemerintah China. Di lain sisi, sektor saham pengembang properti juga memperberat Hang Seng hari ini karena masih adanya masalah likuiditas yang belum usai.

Indeks sektor teknologi Hang Seng ambles 3% pada perdagangan intraday, menjadi koreksi yang terbesar sejak 27 Oktober lalu di sektor saham tersebut.

Saham Alibaba Group ambruk 5,3%, jelang rilis kinerja keuangan kuartal III-2021 yang akan dirilis besok. Sedangkan saham Meituan merosot 2,5%.

Penjualan dari hari Singles Day Alibaba tumbuh pada laju paling lambat, menggarisbawahi hambatan regulasi dan rantai pasokan yang kuat untuk perusahaan teknologi China.

Analis mengatakan bahwa ekspektasi positifnya saham Alibaba cenderung rendah dan kinerja keuangan pada kuartal III-2021 kemungkinan tidak akan menjadi pendorong sahamnya.

Di lain sisi, sektor saham properti di Hang Seng juga ambles karena investor kembali khawatir atas masalah likuiditas di sektor ini, dengan pengembang meningkatkan upaya pembiayaan.

China Evergrande Group mengatakan akan menjual seluruh sahamnya di HengTen Network Holdings seharga HK$2,13 miliar (US$ 273,5 juta), sementara Country Garden Services berusaha mengumpulkan dana hingga HK$8 miliar (US$ 1 miliar) dari penjualan 150 juta saham baru.

Dari sahamnya, Evergrande dan Country Garden Holdings masing-masing ambruk lebih dari 5%, sementara perusahaan streaming film dan televisi, HengTen Network Holdings melonjak hampir 25%.

Sebagian besar pelaku pasar Asia pada hari ini khawatir dengan inflasi global yang makin meninggi.

Kemarin, Biro Statistik Inggris melaporkan inflasi yang dilihat dari consumer price index (CPI) atau Indeks Harga Konsumen (IHK) melesat 4,2% di bulan Oktober dari tahun sebelumnya (year-on-year/YoY), dan dari bulan sebelumnya 3,1% YoY. Kenaikan tersebut bahkan lebih tinggi dari hasil polling Reuters yang memprediksi 3,9% YoY.

Inflasi Inggris di bulan Oktober menjadi yang tertinggi dalam satu dekade terakhir, tepatnya sejak November 2011. Inflasi tersebut lebih dari dua kali lipat dari target bank sentral Inggris (Bank of England/BOE).

Hal yang sama juga terjadi di zona euro, dimana inflasinya tumbuh 4,1% YoY, jauh di atas target bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) sebesar 2%.

Tingginya inflasi bermula dari kenaikan harga energi, kemudian masalah rantai pasokan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Banyak yang berpendapat ketika masalah rantau pasokan bisa diatasi, dan harga energi mulai turun, maka inflasi juga akan melandai.

Tetapi, hingga mendekati penghujung tahun ini inflasi malah semakin tinggi. Banyak analis melihat bank sentral terlalu "menyepelekan" kemungkinan inflasi tinggi akan terjadi berlanjutnya.

Sebelumnya pada Rabu (10/11/2021) pekan lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan inflasi berdasarkan CPI bulan Oktober melesat 6,2% (YoY), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990.

Sementara inflasi CPI inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,6%, lebih tinggi dari ekspektasi 4% dan tertinggi sejak Agustus 1991.

Inflasi yang tinggi dapat memukul daya beli masyarakat, yang pada akhirnya berdampak negatif bagi perekonomian. Lebih jauh, jika pertumbuhan ekonomi menjadi stagnan akibat turunnya daya beli masyarakat, maka akan terjadi stagflasi.

Di sisi lain, jika bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dan bank sentral lainnya "terpaksa" menaikkan suku bunga guna meredam inflasi, maka pemulihan ekonomi yang sedang berjalan bisa terganggu.

Artinya, inflasi yang tinggi saat ini memicu ketidakpastian yang membuat pasar saham global berfluktuasi dan kerap kali merosot.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bursa Asia Mayoritas Dibuka Hijau, KOSPI Memimpin!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular