Dolar AS "Ngamuk", Stay Strong Rupiah!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
17 November 2021 09:26
foto : CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) sedang "mengamuk", sejak pekan lalu pasca rilis data inflasi. Rupiah sebenarnya cukup kuat menahan perkasanya dolar AS tersebut, terlihat dari pelemahnya yang masih wajar.

Pada pembukaan perdagangan Rabu (17/11), rupiah melemah tipis 0,07% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Depresiasi rupiah bertambah menjadi 0,21% ke Rp 14.250/US$ dan bertahan di level tersebut hingga pukul 9:20 WIB.

Pelemahan rupiah tersebut terbilang kecil jika melihat indeks dolar AS yang kemarin melesat melesat 0,52% ke 95,92, yang merupakan level tertinggi sejak Juli 2020. Sebabnya, data penjualan ritel Amerika Serikat yang lebih tinggi dari ekspektasi. Sepanjang bulan ini, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut sudah melesat lebih dari 2%.

Departemen Perdagangan AS melaporkan penjualan ritel di bulan Oktober tumbuh hingga 1,7%, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,8% dan lebih tinggi dari ekspektasi Dow Jones sebesar 1,5%.

Sementara itu, penjualan ritel inti yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan juga tumbuh 1,7%, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,7%, dan ekspektasi 1%.
Data penjualan ritel tersebut menunjukkan perekonomian Amerika Serikat masih berada pada jalur pemulihan, di tengah inflasi yang tinggi.

Sementara itu pada Rabu pekan lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) bulan Oktober melesat 6,2% year-on-year (YoY), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990.

Sementara inflasi CPI inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,6%, lebih tinggi dari ekspektasi 4% dan tertinggi sejak Agustus 1991.
Melihat data tersebut, artinya meski inflasi tinggi daya beli masyarakat AS masih belum terganggu. Sehingga risiko stagflasi atau stagnannya pertumbuhan ekonomi dibarengi inflasi tinggi menjadi minim.

Tingginya inflasi tersebut membuat pasar memprediksi bank sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun depan, setelah tapering selesai.

The Fed mulai melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) sebesar US$ 15 miliar per bulan mulai November ini. Dengan nilai QE saat ini US$ 120 miliar/bulan, butuh waktu 8 bulan hingga QE menjadi nol alias selesai. Setelahnya, The Fed diramal akan menaikkan suku bunga.

Kebijakan The Fed tersebut memang tidak membuat pasar finansial bergejolak seperti di tahun 2013, atau yang dikenal dengan taper tantrum. Tetapi, pasar obligasi dalam negeri mengalami capital outflow yang cukup besar di bulan ini.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, terjadi capital outflow dari pasar obligasi sebesar Rp 23 triliun pada periode 1 - 11 November.

Hal tersebut membuat rupiah kesulitan menguat.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Penyebab Rupiah Menguat 4 Pekan Beruntun, Terbaik di Asia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular