Bursa Asia Masih Pede di Zona Hijau, kecuali Singapura
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Asia-Pasifik dibuka melemah pada perdagangan Selasa (16/11/2021), menyusul pelemahan tipis bursa saham Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (15/11/2021) waktu setempat.
Indeks Nikkei Jepang dibuka melemah 0,12%, Shanghai Composite China turun tipis 0,04%, dan KOSPI Korea Selatan terkoreksi 0,15%.
Sedangkan untuk indeks Straits Times Singapura sempat dibuka melemah 0,2%. Namun selang 30 menit setelah dibuka, indeks saham acuan Negeri Singa tersebut berbalik naik tipis 0,02%.
Sedangkan untuk indeks Hang Seng Hong Kong dibuka menguat 0,14% pada pagi hari ini.
Adapun di kawasan Australia, indeks S&P/ASX 200 Australia dibuka melemah 0,58% pada pagi hari ini.
Bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuannya setidaknya hingga 2024, menurut risalah dari pertemuan kebijakan moneter November yang dirilis pada hari ini.
"Mengingat data dan prakiraan terbaru, skenario sentral ekonomi terus konsisten dengan suku bunga tetap pada level saat ini hingga 2024," demikian bunyi risalah tersebut.
Pergerakan bursa saham Asia-Pasifik pada hari ini cenderung mengikuti pergerakan bursa saham AS, Wall Street yang ditutup melemah tipis pada perdagangan Senin (15/11/2021) waktu AS, di mana naiknya kembali imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (Treasury) memberikan efek negatif ke pasar saham Negeri Paman Sam.
Indeks Dow Jones ditutup turun tipis 0,04% ke level 36.087,45, S&P 500 cenderung stagnan di level 4.682,84, dan Nasdaq Composite melemah tipis 0,04% ke 15.853,85.
Yield Treasury AS tenor 10 tahun naik ke level 1,6%, sementara tenor 30 tahun ke atas level 2%. Ketika yield Treasury mengalami kenaikan, saham sektor teknologi cenderung mengalami penurunan.
"Pergerakan harga di pasar obligasi menjadi indikator bagaimana pasar melihat inflasi. Meski The Fed (bank sentral AS) tidak memberikan sinyal yang penuh bagaimana kebijakannya di masa yang akan datang, tetapi pelaku pasar tetap memprediksi suku bunga akan dinaikkan dalam waktu dekat," kata Charlie Ripley, ahli strategi investasi senior di Alliamz Investment Management, sebagaimana diwartakan CNBC International, Senin (15/11/2021).
Seperti diketahui Departemen Tenaga Kerja AS pada Rabu (10/11/2021) pekan lalu melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) bulan Oktober melesat 6,2% secara tahunan (year-on-year/yoy), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990.
Sementara inflasi CPI inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,6%, lebih tinggi dari ekspektasi 4% dan tertinggi sejak Agustus 1991.
Tingginya inflasi tersebut membuat sentimen konsumen merosot ke level terendah dalam satu dekade terakhir.
University of Michigan (UoM) melaporkan sentimen konsumen di bulan November jeblok ke 66,8, dari bulan sebelumnya 71,7. Selain menjadi yang terendah sejak November 2011, indeks sentimen konsumen di bulan November juga jauh di bawah estimasi Dow Jones yang justru memprediksi kenaikan menjadi 72,5.
"Sentimen konsumen menurun di awal November ke level terendah dalam satu dekade akibat kenaikan inflasi, dan banyak konsumen melihat tidak ada kebijakan yang efektif dibuat saat ini untuk mengurangi kerusakan akibat melonjaknya inflasi," kata Richard Curtin, kepala ekonom survei dari UoM, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (12/11/2021).
"Saat ini dilaporkan kenaikan harga rumah, kendaraan, dan barang tahan lama lebih banyak terjadi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dalam lebih dari setengah abad yang lalu," tambahnya.
Jebloknya sentimen konsumen tersebut membuat laporan earning perusahaan ritel AS semakin menjadi perhatian di pekan ini. Jika laporan earning tersebut bagus, artinya konsumsi warga AS masih cukup tinggi, dan menjadi pertanda baik bagi perekonomian, begitu juga sebaliknya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)