Terkuak! Gak Cuma Corona, Gegara Ini Maskapai Global 'Bonyok'
Jakarta, CNBC Indonesia - Apakah ada sektor usaha yang lebih 'berdarah-darah' akibat dampak pandemi Covid-19 dibandingkan dengan sektor penerbangan global? Barangkali ada, tapi tampaknya hanya segelintir sektor ekonomi yang bisnisnya terhantam lebih keras daripada sektor penerbangan karena wabah pandemi sejak Maret 2020 ini.
Lumpuhnya perjalanan udara menghilangkan puluhan ribu pekerjaan dan miliaran dolar pendapatan menguap. Sektor-sektor pendukung seperti perhotelan, pariwisata, jasa, dan lainnya juga 'tengkurep'.
Bagi maskapai penerbangan global, sebagian besar armada diparkir begitu saja, industri penerbangan pun secara keseluruhan terpaksa memikirkan kembali masa depannya.
Ketakutan akan virus yang menular, pembatasan perjalanan yang diberlakukan pihak berwenang serta ekonomi global yang terkontraksi membuat industri ini jatuh semakin dalam.
Dalam sejarahnya, kondisi ini adalah yang pertama terjadi di skala global dalam 110 tahun penerbangan komersial pertama dimulai (sejak Burgess Co menjadi pesawat berlisensi pertama di tahun 1911, dan tahun 1919 ketika maskapai KLM mulai beroperasi, setelah sebelumnya di tahun 1908 Wilbur Wright bersama 1 penumpang menaiki pesawat).
Sebelumnya bisnis maskapai penerbangan hanya diserang oleh salah satu faktor saja. Misalnya, selama wabah SARS yang muncul tahun 2002 di China, perjalanan memang tidak aman karena faktor kesehatan, tetapi ekonomi global tidak terpengaruh.
Selama krisis keuangan 2008, jumlah uang sangat terbatas, tetapi penerbangan tidak memiliki risiko kesehatan.
Tapi pandemi Covid-19 yang awal mulanya dari China ini benar-benar 'membungkam' sepenuhnya bisnis maskapai.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) merilis publikasi Statistik Transportasi Udara Dunia (WATS) dengan angka kinerja untuk tahun 2020 yang menunjukkan dampak buruk pada transportasi udara global selama tahun pandemi.
IATA mencatat total pendapatan penumpang industri ini turun 69% menjadi US$ 189 miliar atau setara Rp 2.684 triliun (kurs Rp 14.200/US$) pada tahun 2020, dan kerugian bersih mencapai US$ 126,4 miliar atau sekitar Rp 1.795 triliun secara total, angka ini kemudian direvisi naik menjadi US$ 137,7 miliar atau Rp 1.955 triliun.
Sementara itu meski kondisi mulai sedikit membaik industri penerbangan diperkirakan akan mengalami kerugian US$ 51,8 miliar atau sekitar Rp 736 triliun pada 2021 dan US$ 11,6 miliar atau Rp 165 triliun pada 2022, sehingga menjadikan total kerugian selama 2002-2022 sejumlah US$ 201 miliar atau sekitar Rp 2.854 triliun.
"Dampak krisis COVID-19 bagi maskapai penerbangan sangat besar," kata Willie Walsh, Direktur Jenderal IATA, dalam keterangan resmi di situs IATA, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (12/11).
Selama periode 2020-2022, katanya, total kerugian bisa mencapai US$ 200 miliar. Untuk bertahan, maskapai penerbangan telah secara dramatis memotong biaya dan menyesuaikan bisnis mereka dengan peluang apa pun yang tersedia.
"Hal tersebut menjadikan kerugian US$ 137,7 miliar pada tahun 2020 berkurang menjadi US$ 52 miliar tahun ini. Dan itu akan semakin berkurang menjadi US$ 12 miliar pada tahun 2022," katanya.
"Kita telah melewati titik terdalam dari krisis. Sementara masalah serius tetap ada, jalan menuju pemulihan mulai terlihat," tambah Walsh.
Kondisi parah tersebut membuat banyak maskapai penerbangan di dunia terpaksa harus menghentikan bisnisnya karena tidak bisa menghindari kebangkrutan.
Dari dalam negeri, maskapai penerbangan nasional PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA), juga mengalami hal serupa.
Kondisi bisnis yang masih terpuruk menjadikan kinerja perusahaan terus tertekan dengan beban utang yang juga sudah menggunung masih menunggu upaya restrukturisasi.
NEXT: Berikut Masalah-masalah Maskapai Global
(fsd/fsd)