Duh, Rupiah Jadi Mata Uang Asia Paling Tertekan Pekan Ini

Feri Sandria, CNBC Indonesia
06 November 2021 14:39
Uang Kertas Orangutan 500 Rupiah. (Dok: Galerry Bank Indonesia)
Foto: Uang Kertas Orangutan 500 Rupiah. (Dok: Galerry Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah makin menjauhi Rp 14.000/US$ di pekan ini, padahal pada pekan beberapa pekan lalu level psikologis tersebut nyaris ditembus. Sepanjang pekan ini, rupiah tercatat melemah 1,13% ke Rp 14.165/US$ melansir data Refinitiv. Pelemahan rupiah terhadap dolar AS lebih parah dari pekan lalu yang tercatat melemah 0,32%.

Dibandingkan mata uang Asia pekan ini, rupiah menjadi yang terburuk diikuti oleh Rupee yang terkoreksi 0,99%. Selain kedua mata uang tersebut, empat mata uang Asia lain bertekuk lutut di depan dolar AS, dengan lima mengalami penguatan.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia sepanjang pekan ini.

Pada perdagangan Jumat (5/11), rupiah memang tercatat mengalami penguatan tipis 0,07% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.325/US$, akan tetapi tidak mampu memperbaiki kinerja pelemahan yang telah terjadi empat hari beruntun.

Pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) menjadi penggerak utama di pekan ini. Sebelum pengumuman tersebut, pelaku pasar mengurangi posisi beli (long) terhadap rupiah. Maklum saja, The Fed mengumumkan tapering, yang paling ditunggu pelaku pasar finansial global di akhir tahun ini.

The Fed resmi mengumumkan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) sebesar US$ 15 miliar setiap bulannya.

he Fed sudah mengumumkan tapering kemarin, dan pasar bisa tenang, taper tantrum tidak terjadi.

Ketua The Fed, Jerome Powell, sukses meredam terjadinya taper tantrum berkat komunikasi yang berjalan baik. Pasar sudah siap menghadapi tapering sejak jauh-jauh hari.

Rupiah meski mengalami pelemahan tetapi masih dalam batas wajar, hari ini malah sukses menguat tipis.

Tapering yang pernah terjadi di tahun 2013 membuat pasar finansial bergejolak hebat, capital outflow terjadi di negara emerging market, mata uang selain dolar AS rontok, indeks saham hingga aset safe haven seperti emas berguguran. Kejadian tersebut taper tantrum.

Rupiah menjadi salah satu yang kena dampak hebat, terus mengalami pelemahan hingga tahun 2015 dengan persentase hingga 50%.

Maka wajar pelaku pasar mengurangi posisi long rupiah. Hal tersebut tercermin dari survei 2 mingguan Reuters.

Survei terbaru yang dirilis hari ini, Kamis (4/11/2021) menunjukkan angka untuk rupiah di -0,41, turun tajam dari 2 pekan lalu -1,12. Rupiah kala itu menjadi mata uang dengan posisi long paling besar dibandingkan 9 mata uang Asia lainnya.

Sementara di survei terbaru, rupiah "turun" tahta dari mata uang idola di Asia, digeser oleh yuan China.

Ekonom dari Trimegah Sekuritas, Fakhrul Fulvian, mengatakan isu tapering tidak penting lagi bagi aset-aset Indonesia. Yang paling penting saat ini dikatakan adalah stabilnya harga komoditas, dan memprediksi rupiah akan menguat di sisa tahun ini.

"Untuk aset-aset Indonesia, kami melihat tapering sudah tidak penting lagi. Stabilitas pasar komoditas menjadi yang paling penting saat ini, Kami mempertahankan proyeksi yield obligasi tenor 10 tahun akan mencapai 5,8% dan rupiah ke Rp 14.000/US$ di tahun ini," kata Fakhrul, Kamis (5/11).

Harga komoditas memang meroket belakangan ini. Dua komoditas ekspor utama Indonesia, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan batu bara melesat ke rekor tertinggi sepanjang masa. CPO saat ini masih berada di dekat rekor tertinggi sepanjang masa, kisaran 5.300 ringgit per ton, dan sepanjang tahun ini melesat lebih dari 40%.

Sementara itu baru bara sempat meroket lebih dari 240% dan mencapai rekor tertinggi sepanjang masa US$ 280/ton pada 5 Oktober lalu.

Tetapi setelahnya, harga batu bara menjadi sorotan. Sejak mencapai rekor tertinggi sepanjang tersebut, harganya sudah jeblok lebih dari 51% hingga Selasa lalu.

Ketika harga batu bara merosot, nilai tukar rupiah ikut melemah.

Dalam 2 hari terakhir, harga batu bara acuan ICE Newcastle Australia untuk kontrak 2 bulan ke depan masih berfluktuasi, melesat 14,33% Rabu lalu dan berbalik melemah 3% kemarin.

Sebelumnya kenaikan harga CPO dan Batu bara membuat neraca perdagangan Indonesia bisa mencatat surplus hingga 17 bulan beruntun, pendapatan pajak negara juga melonjak. Sehingga stabilitas harga batu bara menjadi penting, agar bisa mendongkrak kinerja rupiah.

Berkat neraca perdagangan yang terus surplus, Bank Indonesia (BI) memprediksi transaksi berjalan (current account) juga diprediksi positif di kuartal III-2021.

Transaksi berjalan menjadi salah satu faktor yang mendukung penguatan rupiah karena mencerminkan pasokan devisa yang bisa bertahan lama di dalam negeri.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penyebab Cadangan Devisa RI US$155,7 M: Utang Sampai Devisa Migas

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular