Apes! China Bikin IHSG Jeblok, Rupiah Ikutan Keok
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah tertahan di zona merah hingga pertengahan perdagangan Kamis (28/10). China mengirim kabar kurang sedang yang membuat sentimen pelaku pasar memburuk, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jeblok, dan investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell).
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,07% di Rp 14.180/US$. Depresiasi rupiah membengkak hingga 0,25% di Rp 14.205/US$. Posisi rupiah membaik, pada pukul 12:00 WIB berada di Rp 14.200/US$ atau melemah 0,21% di pasar spot.
Di sisa perdagangan hari ini rupiah masih akan mengalami tekanan, terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih tidak berbeda jauh siang ini masih berada di atas Rp 14.200/US$, meski sedikit menguat ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
IHSG jeblok hingga lebih dari 1% di perdagangan sesi I hari ini, yang menandakan sentimen pelaku pasar sedang memburuk. Dalam kondisi tersebut, rupiah tidak diuntungkan. Apalagi dengan investor asing tercatat net sell sebesar Rp 203 miliar. Ini merupakan kali pertama investor asing keluar dari pasar saham dalam negeri, setelah berhari-hari tercatat net buy, dan triliunan rupiah masuk ke bursa saham Indonesia.
Kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) serta masalah sektor properti di China membuat sentimen pelaku pasar memburuk. China kembali menerapkan kebijakan lockdown di beberapa wilayah akibat kenaikan kasus Covid-19.
Hal tersebut tentunya membuat sentimen pelaku pasar cukup memburuk, mengingat China merupakan negara dengan perekonomaian terbesar kedua di dunia.
Selain itu, sektor properti China juga memberikan kecemasan. Satu lagi perusahaan properti kesulitan membayar kewajibannya, menyusul Evergrande Group, Fantasia Holdings dan Sinic Holdings, yakni Modern Land.
Pekan lalu Modern Land telah menyatakan akan menunda pembayaran bunga obligasi yang jatuh tempo Senin, 25 Oktober lalu dan akan membayar sebagian darinya senilai US$ 250 juta atau setara dengan Rp 3,62 triliun dalam 3 bulan ke depan.
Masalah Modern Land tersebut menambah kekhawatiran tentang dampak yang lebih luas dari krisis utang di sektor properti China.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)