Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia kebanjiran sentimen positif dalam pekan ini. Mata uang rupiah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) berhasil melesat lebih dari 1%. Bahkan rupiah kini berada di bawah level 14.100.
Melansir dari Refinitiv pada pekan ini, rupiah berhasil melesat 1,05% secara point-to-point. Pada perdagangan akhir pekan ini yakni Jumat (15/10/2021), rupiah menguat 0,32% ke level Rp 14.070/US$.
Inflasi di Amerika Serikat kembali menjadi perhatian. Sebab tingginya inflasi saat ini diprediksi bisa berlangsung lama, bukan sementara saja. Oleh karena itu, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) bisa jadi akan terpaksa menaikkan suku bunga, agar inflasi tidak lepas kendali.
Dampaknya bisa besar, sebab laju pertumbuhan ekonomi bisa terhambat, apalagi jika pasar tenaga kerja mulai melemah lagi.
Imbal hasil (yield) obligasi AS (Treasury) pun kembali bergerak volatil pada pekan ini. Treasury tenor 10 tahun sempat melesat ke atas 1,6%, tetapi pada akhirnya, yield Treasury tenor 10 tahun kembali menyentuh level 1,5%, meskipun nyatanya masih mendekati level 1,6%.
Kenaikan yield artinya pelaku pasar melepas kepemilikan Treasury, sebab ada ekspektasi suku bunga akan dinaikkan, sehingga yield yang rendah menjadi kurang menarik.
Saat yield berbalik turun, artinya kembali ada aksi beli. Hal ini bisa menjadi mengindikasikan pelaku pasar cemas akan outlook perekonomian ke depannya, dan memilih bermain aman di aset safe haven.
Dampak dari penurunan yield Treasury tersebut, dolar AS sempat jeblok 0,46% pada Rabu (13/10/2021).
Di lain sisi, sentimen positif lainnya yang turut membantu rupiah berhasil ke bawah level 14.100 adalah arus dana asing yang masih membanjiri pasar saham hingga pekan ini.
Di pasar saham RI sepanjang pekan ini, asing masih mencatatkan pembelian bersih (net buy) hingga mencapai Rp 4,77 triliun, dengan proporsi sebesar Rp 5,15 triliun di pasar reguler. Sementara di pasar tunai dan negosiasi, asing tercatat menjual bersih (net sell) mencapai Rp 378 miliar.
Di lain sisi, data neraca perdagangan RI yang kembali mencatatkan surplus pada September 2021 juga turut mendongkrak rupiah pada pekan ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan RI pada September 2021 tercatat surplus sebesar US$ US$ 4,37 miliar.
Surplus neraca dagang didorong oleh peningkatan ekspor yang mencapai 47,64% secara tahunan (year-on-year/yoy). Sementara itu impor juga tercatat tumbuh 40,31% (yoy) di waktu yang sama.
Meskipun dolar AS terkesan sedang lesu, namun beberapa analis menilai bahwa lesunya sang greenback pada pekan ini hanya bersifat sementara, karena adanya aksi jual (profit taking) oleh investor.
Hal ini diutarakan oleh Shaun Osborne, kepala ahli strategi mata uang di Scotia Capital mengatakan pelemahan dolar AS tersebut sebagai aksi profit taking.
"Saya pikir apa yang kita lihat dalam 2 hari terakhir adalah profit taking. Untuk saat ini saya tidak melihat sesuatu yang signifikan yang bisa merubah tren dolar AS," kata Osborne sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat kemarin.
Faktor-faktor yang mendukung penguatan dolar AS memang masih ada. Tapering misalnya, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memproyeksikan akan di mulai menjelang akhir tahun ini.
Dalam rilis notula rapat kebijakan moneter edisi September pada Kamis (14/10/202) waktu AS atau Jumat dini hari waktu Indonesia, menunjukkan jika The Fed bisa mulai melakukan pengurangan pembelian aset atau tapering pada pertengahan bulan November.
Dalam notula tersebut, The Fed juga mengindikasikan akan mengurangi quantitative easing atau QE sebesar US$ 15 miliar per bulan sesuai dengan prediksi pasar. Rinciannya US$ 10 miliar Treasury dan US$ 5 miliar efek beragun aset.
The Fed menargetkan proses tapering akan selesai pada pertengahan tahun depan. The Fed akan mengadakan rapat kebijakan moneter pada 2 dan 3 November mendatang, dan kemungkinan besar akan mengumumkan tapering.
Presiden The Fed wilayah St. Louis James Bullard, menyatakan The Fed bisa agresif dalam melakukan tapering.
Pasar memperkirakan The Fed akan mengumumkan tapering di bulan depan, dan eksekusi pertama dilakukan pada bulan Desember. Sehingga jika tapering pertama dilakukan pada pertengahan November, The Fed artinya lebih agresif.
Dengan nilai QE saat ini sebesar US$ 120 miliar per bulan (US$ 80 miliar Treasury dan US$ 40 miliar efek beragun aset), dan The Fed diperkirakan akan menguranginya sebesar US$ 15 miliar per bulan, sehingga butuh waktu 8 bulan untuk menyelesaikannya.
Tetapi Bullard mengatakan ia mendukung program tersebut selesai di kuartal I-2022.
"Saya sudah menganjurkan untuk menyelesaikan proses tapering di akhir kuartal pertama tahun depan, karena saya ingin berada di posisi untuk bereaksi jika inflasi terus meninggi" kata Bullard kepada CNBC International, Selasa (12/10/2021) lalu.
Reaksi yang dimaksud adalah menaikkan suku bunga, yang seharusnya bisa mendongkrak dolar lebih lanjut. Tetapi, dengan kenaikan suku bunga, ada risiko perekonomian AS akan mengalami pelambatan jika pasar tenaga kerjanya melemah.
Hal tersebut yang memicu pelemahan dolar AS dua hari terakhir, sebab data tenaga kerja yang dirilis pekan lalu terbilang mengecewakan, dan dikhawatirkan akan terus melemah jika dukungan moneter berkurang.
TIM RISET CNBC INDONESIA