
RI 'Kebanjiran', Rupiah Nyaris Sentuh Level Rp 13.000/US$

Meskipun dolar AS terkesan sedang lesu, namun beberapa analis menilai bahwa lesunya sang greenback pada pekan ini hanya bersifat sementara, karena adanya aksi jual (profit taking) oleh investor.
Hal ini diutarakan oleh Shaun Osborne, kepala ahli strategi mata uang di Scotia Capital mengatakan pelemahan dolar AS tersebut sebagai aksi profit taking.
"Saya pikir apa yang kita lihat dalam 2 hari terakhir adalah profit taking. Untuk saat ini saya tidak melihat sesuatu yang signifikan yang bisa merubah tren dolar AS," kata Osborne sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat kemarin.
Faktor-faktor yang mendukung penguatan dolar AS memang masih ada. Tapering misalnya, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memproyeksikan akan di mulai menjelang akhir tahun ini.
Dalam rilis notula rapat kebijakan moneter edisi September pada Kamis (14/10/202) waktu AS atau Jumat dini hari waktu Indonesia, menunjukkan jika The Fed bisa mulai melakukan pengurangan pembelian aset atau tapering pada pertengahan bulan November.
Dalam notula tersebut, The Fed juga mengindikasikan akan mengurangi quantitative easing atau QE sebesar US$ 15 miliar per bulan sesuai dengan prediksi pasar. Rinciannya US$ 10 miliar Treasury dan US$ 5 miliar efek beragun aset.
The Fed menargetkan proses tapering akan selesai pada pertengahan tahun depan. The Fed akan mengadakan rapat kebijakan moneter pada 2 dan 3 November mendatang, dan kemungkinan besar akan mengumumkan tapering.
Presiden The Fed wilayah St. Louis James Bullard, menyatakan The Fed bisa agresif dalam melakukan tapering.
Pasar memperkirakan The Fed akan mengumumkan tapering di bulan depan, dan eksekusi pertama dilakukan pada bulan Desember. Sehingga jika tapering pertama dilakukan pada pertengahan November, The Fed artinya lebih agresif.
Dengan nilai QE saat ini sebesar US$ 120 miliar per bulan (US$ 80 miliar Treasury dan US$ 40 miliar efek beragun aset), dan The Fed diperkirakan akan menguranginya sebesar US$ 15 miliar per bulan, sehingga butuh waktu 8 bulan untuk menyelesaikannya.
Tetapi Bullard mengatakan ia mendukung program tersebut selesai di kuartal I-2022.
"Saya sudah menganjurkan untuk menyelesaikan proses tapering di akhir kuartal pertama tahun depan, karena saya ingin berada di posisi untuk bereaksi jika inflasi terus meninggi" kata Bullard kepada CNBC International, Selasa (12/10/2021) lalu.
Reaksi yang dimaksud adalah menaikkan suku bunga, yang seharusnya bisa mendongkrak dolar lebih lanjut. Tetapi, dengan kenaikan suku bunga, ada risiko perekonomian AS akan mengalami pelambatan jika pasar tenaga kerjanya melemah.
Hal tersebut yang memicu pelemahan dolar AS dua hari terakhir, sebab data tenaga kerja yang dirilis pekan lalu terbilang mengecewakan, dan dikhawatirkan akan terus melemah jika dukungan moneter berkurang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)[Gambas:Video CNBC]