Duit Triliunan Masuk Indonesia, Rupiah Jadi Trengginas!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 October 2021 15:27
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah kembali melanjutkan penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (15/10). Derasnya aliran modal yang masuk ke dalam negeri membuat rupiah perkasa. Meski demikian, dolar AS diprediksi bisa bangkit sewaktu-waktu. 

Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka, rupiah menguat 0,32% ke Rp 14.070/US$. Apresiasi rupiah makin besar hingga ke Rp 14.050/US$ atau 0,46%, level tersebut menjadi yang terkuat sejak 24 Februari lalu.

Sayangnya, level tersebut juga menjadi yang terkuat pagi ini, rupiah setelahnya mengendur. Di penutupan perdagangan berada di Rp 14.070/US$, menguat 0,32% di pasar spot. Dalam sepekan, rupiah mampu mencatat penguatan lebih dari 1%. 

Inflasi di Amerika Serikat kembali menjadi perhatian. Sebab tingginya inflasi saat ini diprediksi bisa berlangsung lama, bukan sementara saja. Oleh karena itu, bank sentral AS (The Fed) bisa jadi akan terpaksa menaikkan suku bunga, agar inflasi tidak lepas kendali.

Dampaknya bisa besar, sebab laju pertumbuhan ekonomi bisa terhambat, apalagi jika pasar tenaga kerja mulai melemah lagi. Yield obligasi AS (Treasury) pun bergerak volatil kemarin. Treasury tenor 10 tahun sempat melesat ke atas 1,6%, tetapi setelahnya malah berbalik turun dan mengakhiri perdagangan di 1,5525%, atau turun 2,9 basis poin dari penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Kenaikan yield menjadi artinya pelaku pasar melepas kepemilikan Treasury, sebab ada ekspektasi suku bunga akan dinaikkan, sehingga yield yang rendah menjadi kurang menarik.

Saat yield berbalik turun, artinya kembali ada aksi beli. Hal ini bisa menjadi mengindikasikan pelaku pasar cemas akan outlook perekonomian ke depannya, dan memilih bermain aman di aset safe haven.

Dampak dari penurunan yield Treasury tersebut, dolar AS kemarin jeblok 0,46% di hari Rabu, 0,13% kemarin.

Selain itu, sentimen pelaku pasar juga sedang bagus yang membuat aliran modal deras ke dalam negeri, rupiah menjadi semakin bertenaga.

Di pasar saham, kemarin investor asing melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 1,44 triliun. Sementara pada perdagangan hari ini sebesar Rp 659 triliun.

Dari pasar obligasi, kemungkinan juga terjadi capital inflow di pasar sekunder. Hal ini terlihat dari penurunan yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun yang turun 2,5  basis poin hari in ke 6,269% dan sudah turun dalam 3 hari beruntun.

Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Saat harga naik yield akan turun. Saat harga turun berarti terjadi aksi beli.

Sementara itu di pasar primer, penawaran yang masuk dari lelang obligasi yang dilakukan pemerintah sebesar Rp 50,15 triliun. Dari nilai tersebut yang dimenangkan sebesar Rp 8 triliun sesuai dengan target indikatif. 

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pelemahan Dolar AS Hanya Profit Taking

Shaun Osborne, kepala ahli strategi mata uang di Scotia Capital mengatakan pelemahan dolar AS tersebut sebagai aksi profit taking.

"Saya pikir apa yang kita lihat dalam 2 hari terakhir adalah profit taking. Untuk saat ini saya tidak melihat sesuatu yang signifikan yang bisa merubah tren dolar AS," kata Osborne sebagaimana dilansir CNBC International.

Faktor-faktor yang mendukung penguatan dolar AS memang masih ada. Tapering misalnya, bank sentral AS (The Fed) memproyeksikan di tahun ini.

Dalam rilis notula rapat kebijakan moneter edisi September dini hari tadi, menunjukkan jika The Fed bisa mulai melakukan tapering pada pertengahan bulan November. Dalam notula tersebut, The Fed juga mengindikasikan akan mengurangi QE sebesar US$ 15 miliar per bulan sesuai dengan prediksi pasar. Rinciannya US$ 10 miliar Treasury dan US$ 5 miliar efek beragun aset.

The Fed menargetkan proses tapering akan selesai pada pertengahan tahun depan. The Fed akan mengadakan rapat kebijakan moneter pada 2 dan 3 November mendatang, dan kemungkinan besar akan mengumumkan tapering.

Presiden The Fed wilayah St. Louis James Bullard, menyatakan The Fed bisa agresif dalam melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE).

Pasar memperkirakan The Fed akan mengumumkan tapering di bulan depan, dan eksekusi pertama dilakukan pada bulan Desember. Sehingga jika tapering pertama dilakukan pada pertengahan November, The Fed artinya lebih agresif.

Dengan nilai QE saat ini sebesar US$ 120 miliar per bulan (US$ 80 miliar Treasury dan US$ 40 miliar efek beragun aset), dan The Fed diperkirakan akan menguranginya sebesar US$ 15 miliar per bulan, sehingga butuh waktu 8 bulan untuk menyelesaikannya.

Tetapi Bullard mengatakan ia mendukung program tersebut selesai di kuartal I-2022.

"Saya sudah menganjurkan untuk menyelesaikan proses tapering di akhir kuartal pertama tahun depan, karena saya ingin berada di posisi untuk bereaksi jika inflasi terus meninggi" kata Bullard kepada CNBC International Selasa (12/10).

Reaksi yang dimaksud adalah menaikkan suku bunga, yang seharusnya bisa mendongkrak dolar lebih lanjut. Tetapi, dengan kenaikan suku bunga, ada risiko perekonomian AS akan mengalami pelambatan jika pasar tenaga kerjanya melemah.

Hal tersebut yang memicu pelemahan dolar AS dua hari terakhir, sebab data tenaga kerja yang dirilis pekan lalu terbilang mengecewakan, dan dikhawatirkan akan terus melemah jika dukungan moneter berkurang.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular