Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang berhasil melonjak tinggi hingga menyentuh level psikologis 6.400, investor asing tercatat melakukan beli bersih (net buy) jumbo senilai lebih dari Rp 3 triliun pada perdagangan Rabu (6/10/2021).
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup melejit 2,06% ke posisi 6.417,32, dengan nilai transaksi mencapai Rp 21,81 triliun dan volume perdagangan mencapai 33,29 miliar saham. Sementara, ada 323 saham naik, 199 saham merosot dan 141 saham stagnan.
Secara sektoral, indeks consumer cyclical, keuangan dan energi menjadi pendorong utama penguatan IHSG dengan apresiasi masing-masing sebesar 3,55%, 3,00% dan 1,92%.
Seiring dengan kenaikan ini, IHSG sudah tumbuh 6,49% dalam sebulan terakhir dan melesat 7,33% sepanjang tahun ini.
Investor asing pasar saham berbondong-bondong masuk ke Indonesia dengan catatan beli bersih asing mencapai Rp 3,42 triliun di pasar reguler. Sementara, asing mencatatkan beli bersih di pasar negosiasi dan pasar tunai sebesar Rp 1,40 triliun.
Dengan masuknya dana asing dalam jumlah besar tersebut, dalam sebulan belakangan total net buy asing mencapai Rp 16,30 triliun di pasar reguler, sementara secara year to date (ytd) asing sudah melakukan beli bersih R 27,53 triliun.
Sementara, di kawasan bursa saham Asia, IHSG menjadi indeks dengan kenaikan paling oke pada perdagangan kemarin. Hingga 15.10 WIB, indeks Nikkei ambles 1% disusul oleh Hang Seng yang drop 0,57%.
Indeks Straits Times masih mampu bergerak di zona hijau dengan penguatan 0,44%.
Pertanyaannya, apa yang membuat asing mau ke bursa RI?
Kasus Covid-19 Melandai, Ekonomi Mulai Bergerak
Ada beberapa indikator yang perlu disimak untuk menjelaskan mengapa investor asing masuk ke bursa domestik.
Dari ranah makro, mulai melandainya kasus Covid-19 di Tanah Air menimbulkan persepsi bahwa ekonomi akan perlahan pulih kembali, seiring pelonggaran pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) oleh pemerintah.
Kasus Covid-19 di Indonesia dalam beberapa hari terakhir terus melandai. Menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pada Rabu (6/10), kasus konfirmasi positif Covid-19 di Indonesia bertambah 1.484 kasus. Dengan demikian, total kasus mencapai 4.223.094.
Kemudian, jumlah pasien sembuh melebihi jumlah pasien positif, yakni bertambah 2.851 kasus. Secara total, kasus sembuh sebesar 4.052.300. Sementara, kasus meninggal masih bertambah 75 kasus pada Rabu sehingga total mencapai 142.413 kasus.
Vaksinasi tahap pertama saat ini sudah mencapai 95,78 juta atau setara dengan 45,99% dari total vaksinasi 208,27 juta jiwa. Lalu, vaksinasi kedua mencapai 54,44 juta atau setara dengan 26,14% dari target total. Adapun vaksinasi ketiga baru sebesar 975 ribu.
Mulai pulihnya ekonomi RI bisa dilihat dari beberapa indikator lainnya, seperti penjualan ritel di Agustus juga--kendati masih rendah--mulai meningkat yang tercermin dari Mandiri Spending Index (naik ke level 95,6). Kemudian, aktivitas manufaktur Indonesia sudah kembali ke zona ekspansi.
Aktivitas manufaktur, yang dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI), berada di 52,2 pada September 2021. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 43,7.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau sudah di atas 50, maka artinya industriawan sedang dalam fase ekspansi.
Sektor manufaktur adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi lapangan usaha. Saat sektor ini kuat, maka prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia akan cerah.
NEXT: Reli Saham Energi hingga Efek Window Dressing?
Indikator selanjutnya, soal neraca dagang RI yang mencetak rekor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat realisasi ekspor US$ 21,42 miliar, melonjak 20,95% dibandingkan Juli 2021 (month-to-month/mtm). Sementara ekspor naik 64,1% dari Agustus 2020 (year-on-year/yoy), lebih tinggi dari konsensus pasar sebesar 36,1%. Ini adalah nilai ekspor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
Sementara, nilai impor Indonesia pada Agustus 2021 mencapai US$ 16,68 miliar atau naik 10,35% jika dibandingkan realisasi Juli 2021 (month to month/bulanan) dan naik 55,26% jika dibandingkan realisasi Agustus 2020 (year on year/tahunan). Ini adalah yang tertinggi sejak November 2018.
Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2021 kembali membukukan surplus sebesar US$ 4,74 miliar, menorehkan rekor tertinggi sepanjang masa. Menurut catatan CNBC Indonesia, rekor sebelumnya tercipta pada Desember 2006 yaitu US$ 4,64 miliar.
Sementara itu, pandangan optimis pun dilontarkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.
Sri Mulyani optimistis pertumbuhan ekonomi kuartal III tumbuh 4-5%, ditopang oleh ekspor dengan pertumbuhan 20-22%, konsumsi rumah tangga 2-2,4% dan investasi 4,9-5,4%.
"Efektivitas dari PPKM luar biasa menjaga dan kendalikan delta varian di seluruh Indonesia telah berikan dampak positif bagi kita semua. Kuartal III proyeksi meningkat 4-5%," papar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (23/9/2021).
Pada kuartal IV diperkirakan ekonomi bisa meningkat lebih tinggi dan keseluruhan tahun bisa mencapai rentang 3,7-4,5%.
Harga Komoditas Melesat, Saham Energi Bergairah
Selain data makroekonomi di atas, reli kenaikan komoditas, seperti batu bara, minyak bumi, gas, hingga minyak sawit (crude palm oil/CPO) akhir-akhir ini, turut menggerakkan saham-saham produsennya.
Harga komoditas batu bara, misalnya, sempat menyentuh level tertinggi sejak 2008, yakni US$ 280/ton pada Selasa (5/10). Namun, kemarin setelah reli kenaikan 10 hari beruntun, harga batu bara anjlok 15,71% ke US$ 236/ton. Hal ini wajar, lantaran dalam kurun 10 hari tersebut batu bara 'meroket' 57,04%.
Saham-sahamnya pun terkerek naik, seperti PT Bumi Resources Tbk (BUMI) melonjak 67,27% dan PT Adaro Energy Tbk (ADRO) melesat 40,23% dalam sebulan terakhir per penutupan pasar Rabu (6/10).
Contoh lain, pada Rabu (6/10/2021) pukul 10:24 WIB, harga CPO di Bursa Malaysia tercatat MYR 4.869/ton. Melesat 2,76% dibandingkan posisi hari sebelumnya dan menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah perdagangan CPO.
'Good Bye' September, 'Welcome' Oktober!
Bulan September telah berlalu, kini masuk Oktober yang sekaligus menandai berakhirnya kuartal III menjadi kuartal IV.
Secara musiman, bulan September memang bukan bulan yang baik untuk IHSG karena di bulan ke-9, indeks sering mencatatkan performa bulanan yang mengecewakan.
Namun hal tersebut tidak terjadi untuk tahun ini. Pada September 2021, IHSG mampu menguat 1,7%. Uniknya IHSG cenderung sideways sepanjang September.
Akan tetapi, indeks baru diangkat di 2 hari terakhir perdagangan jelang akhir bulan. IHSG naik 0,81% pada 29 September 2021. Di akhir bulan IHSG melesat 2,02% yang juga disertai dengan aksi borong saham oleh investor asing di pasar reguler.
Menurut data yang diolah Tim Riset CNBC Indonesia, secara historis IHSG bisa menguat di bulan Oktober selama 20 tahun terakhir. Nilai median penguatan IHSG sejak tahun 2001-2020 adalah 1,9% secara bulanan (monthly return).
Dari periode 20 tahun tersebut IHSG berhasil menguat 13 kali di setiap bulan Oktober. Sisanya 7 kali melemah di bulan Oktober.
Pelemahan terbesar IHSG di bulan Oktober terjadi di bulan 2008. Kala itu IHSG anjlok lebih dari 30% karena adanya krisis keuangan global yang dipicu oleh subprime mortgage crisis di AS.
Namun sebelum krisis terjadi, IHSG sempat terbang 12% setahun sebelumnya dan menjadi return bulanan terbesar dalam 20 tahun terakhir.
Efek Window Dressing?
Kenaikan di bulan pertama kuartal terakhir sendiri sering diatribusikan kepada aksi beli para investor yang 'curi start' dalam mengoleksi saham-saham unggulan yang biasanya pada akhir tahun terkena efek window dressing.
Window dressing sendiri bisa dibilang sebagai suatu strategi memoles laporan keuangan bagi emiten maupun portofolio yang dimiliki oleh fund manager sehingga terlihat lebih cantik di mata investor.
Window dressing sendiri biasanya terjadi di penghujung tahun. Menurut data yang dirangkum Tim Riset CNBC Indonesia, sejak 2001 sampai 2020, IHSG selalu menguat selama Desember.
Selama dua dekade terakhir, apresiasi terendah IHSG di bulan Desember tercatat sebesar 0,4% pada 2013, kala itu momentumnya adalah tapering yang dilakukan bank sentral AS, The Fed.
Kemudian untuk apresiasi tertinggi terjadi pada bulan Desember 2013. IHSG berhasil memberikan imbal hasil bulanan sebesar 12,1% saat itu. Momentumnya juga kebetulan bertepatan dengan recovery pasar keuangan global pasca dot com bubble.
Secara keseluruhan, IHSG cenderung menguat di kuartal ke-IV. Sejak 2001-2020, tercatat IHSG memberikan return positif sebanyak 16 kali dengan. median return indeks yang menakjubkan, yakni di angka 4,7%.
Jika menggunakan indikator teknikal, level resistance (batas tahanan atas) terdekat IHSG berada di 6.345 apabila berhasil konsisten berada di atas level tersebut maka IHSG berpeluang untuk menguji level 6.507 yang berada di sekitar level tertinggi IHSG yang sempat dicapai tahun ini.
Namun investor juga patut mencermati beberapa sentimen yang bisa menjadi penghambat IHSG menuju level tersebut seperti munculnya gelombang ketiga, tapering the Fed yang agresif hingga risiko gagal bayar utang pemerintah AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA