Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan holding perkebunan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Perkebunan Nusantara III (Persero) membukukan laba bersih sebesar Rp 1,45 triliun sepanjang semester I-2021, membaik dari periode yang sama tahun lalu di mana perusahaan masih mencatatkan rugi sebesar Rp 1,13 triliun.
Kenaikan laba dipacu oleh booming harga CPO yang mampu mengerek pendapatan PTPN Group di semester I-2021 dan berhasil tumbuh 36,37 persen menjadi Rp 21,26 triliun dibandingkan periode sama di tahun sebelumnya yang sebesar Rp 15,54 triliun.
Meski membukukan kinerja yang cukup baik, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir sempat mengatakan bahwa dirinya heran dengan kondisi yang terjadi PT Perkebunan Nusantara (Persero)/PTPNGroup. Khususnya terkait utang usaha.
"Nah yang luar biasa juga di PTPN, ini utangnya Rp 47 triliun. Padahal yang namanya industri kebun kelapa sawit, swasta tuh untung, ini malah utang ini kita perbaiki juga," kata Erick dalam webinar virtual, Selasa (28/9/2021).
Terlebih utang yang menggunung ini tidak hanya berasal dari kredit bank-bank Himbara (Himbunan Bank-bank Milik Negara) dan bank swasta dalam negeri, namun juga berasal dari bank-bank asing.
Belum lama ini, Erick juga menyebut beban utang 'segunung' yang dicatatkan PTPN merupakan bentuk korupsi yang terselubung yang berlangsung sejak lama. Hal ini dia sampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI pada Rabu (22/9/2021) lalu.
Korupsi terselubung tersebut membuat perusahaan akhirnya terbebani utang hingga Rp 43 triliun yang mulai diperbaiki oleh manajemen baru. Sehingga aksi korupsi tersebut harus diungkap dan orang yang bertanggungjawab terhadap hal itu harus dituntut.
Jika mengacu pada laporan keuangan tahun 2020 lalu tercatat total utang Grup PTPN mencapai Rp 77,80 triliun, hanya meningkat tipis 0,19% dari tahun sebelumnya di angka Rp 77,65 triliun. Utang ini terbagi dari utang kangka pendek senilai Rp 38,19 triliun dan jangka panjang senilai Rp 39,61 triliun.
Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan utang terbesar sejatinya terjadi pada tahun 2019, di mana utang PTPN melonjak naik lebih dari Rp 10 triliun, dari semula Rp 66,92 triliun menjadi Rp 77,65 triliun.
Peningkatan itu hampir secara eksklusif terjadi akibat kenaikan kewajiban jangka pendek yang membengkak menjadi Rp 36,37 triliun di tahun 2019 dari semula Rp 24,37 triliun. Peningkatan ini terjadi akibat bertambahnya bagian liabilitas jangka panjang yang akan jatuh tempo (current maturities of long term debt) yang melonjak dari Rp 1,54 triliun menjadi Rp 14,62 triliun.
Meskipun current maturities of long term naik hingga Rp 13 triliun, utang jangka panjang perusahaan hanya berkurang Rp 3 triliun.
Pada tahun 2020 lalu, utang jangka panjang perusahaan yang paling besar adalah utang kepada bank yang mana mencapai Rp 33,65 triliun, dengan dua pertiga atau Rp 22,54 triliun milik anak usaha.
Kreditor terbesar induk usaha adalah Sumitomo Mitsui Banking Corporation dengan nilai nyaris setengah atau mencapai Rp 5,02 triliun yang dilakukan dengan denominasi dolar AS. Sementara utang anak perusahaan sebagian besar berasal dari kredit bank-bank Himbara (Himbunan Bank-bank Milik Negara) dan bank swasta dalam negeri.
Selain itu porsi besar lainnya berupa liabilitas imbalan kerja karyawan yang terdiri dari dana pensiun sejumlah Rp 3,88 triliun dan empolyee benifit sejumlah Rp 15,09 triliun, di mana Rp 2,78 triliun merupakan kewajiban jangka pendek.
Sebagai perbandingan kewajiban imbalan kerja emiten perkebunan anak usaha Astra, PT Astra Agro Lestari Tbk, totalnya tidak mencapai Rp 700 miliar.
Peningkatan utang terjadi dalam lima tahun terakhir ikut menyebabkan turunnya rasio lancar perusahaan, yang mana pada tahun 2016, total aset lancar perusahaan mencapai 68% dari liabilitas jangka panjang sementara tahun 2020 lalu angkanya turun menjadi 44%.
Jika dibandingkan dengan perusahaan swasta lain, khususnya yang bergerak di industri kelapa sawit, utang holding PTPN dapat dikatakan cukup besar. Tercatat emiten sawit anak usaha Sinarmas, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR), memiliki total utang Rp 24,16 triliun. Sedangkan emiten sawit anak usaha Astra hanya sebesar Rp 8,74 triliun.
Likuiditas yang bermasalah juga terlihat dari rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity rasio/DER) yang mencapai 144%, angka ini sedikit lebih baik dari SMAR (184%) akan tetapi jauh lebih buruk dari AALI sebesar 43%.
Lantaran tingginya beban utang in, saat ini PTPN harus melakukan restrukturisasi utang dengan nilai tertinggi yang pernah dilakukan oleh BUMN. Utang ini berupa pinjaman PTPN secara konsolidasi kepada bank dalam negeri dan asing.
Selain itu, untuk mempertahankan operasionalnya, mau tak mau perusahaan ini harus melakukan efisiensi keuangan.
Pada April 2021 lalu perusahaan ini telah menyelesaikan restrukturisasi atas utang banknya senilai kurang lebih Rp 45,3 triliun.