
Wall Street Ambruk, Bursa Asia Dibuka Langsung Berjatuhan!

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia kembali dibuka berjatuhan pada perdagangan Selasa (5/10/2021), menyusuli pelemahan bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street pada perdagangan Senin (4/10/2021) waktu setempat, di mana indeks Nasdaq Composite yang sarat saham-saham teknologi jatuh lebih dari 2%.
Indeks Nikkei Jepang dibuka ambles 1,39%, Hang Seng Hong Kong ambruk 1,24%, Straits Times Singapura melemah 0,75%, dan KOSPI Korea Selatan merosot 1,04%.
Dari Jepang, data final aktivitas jasa periode September yang tercermin pada Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Manager's Index/PMI) versi Jibun Bank/Markit menunjukkan ekspansi ke angka 47,8, dari sebelumnya pada Agustus lalu di angka 42,9.
Meskipun bertambah, namun PMI Jasa Jepang pada periode September masih belum berada di zona ekspansif. Data PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di atas 50 artinya ekspansi, sementara di bawahnya berarti kontraksi.
Pelaku pasar Asia juga masih akan memantau sentimen dari melonjaknya harga komoditas energi yang sudah terjadi dalam beberapa hari terakhir, di mana harga tiga komoditas energi utama seperti batu bara, minyak dan gas masih melanjutkan reli.
Hal ini karena krisis energi yang menerjang kawasan Eropa, China, bahkan kini India juga mulai dilanda kelangkaan batu bara.
Sementara itu, bursa Asia pada hari ini juga cenderung mengikuti pergerakan bursa saham AS, Wall Street yang ditutup melemah pada perdagangan Senin waktu setempat atau dini hari tadi waktu Indonesia.
Tiga indeks saham utama di Wall Street kembali ditutup berjatuhan. Indeks Dow Jones merosot 0,94% ke level 34.002,92, S&P 500 ambles 1,3% ke 4.300,49, dan Nasdaq Composite memimpin pelemahan, yakni ambruk 2,14%.
Pada Jumat (1/10/2021) pekan lalu, mayoritas saham di AS menguat menyusul kabar kemajuan perawatan virus corona (Covid-19) dengan obat produksi Merck, yang memicu keyakinan bahwa ekonomi bisa dibuka kembali secara aman.
Sepanjang September, indeks S&P 500 ambles 4,8%, memutus reli 7-bulan beruntun, sementara Dow Jones dan Nasdaq terkoreksi masing-masing sebesar 4,3% dan 5,3% menjadi bulan yang terburuk.
Prospek pengurangan stimulus moneter ke pasar dan kenaikan utang AS dan risiko gagal bayar (default) raksasa properti China Evergrande menjadi pemberat.
Pasar juga akan memantau rilis data tenaga kerja yang akan menjadi acuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam memutuskan program pembelian obligasi di pasar atau tapering.
Ekonom dalam konsensus FactSet memperkirakan ada 475.000 pos pekerjaan baru yang dibuka pada September, atau jauh meningkat jika dibandingkan dengan angka Agustus sebesar 235.000.
Di lain sisi, sentimen dari plafon utang AS yang belum menemukan titik temu masih menjadi kekhawatiran pelaku pasar di AS hingga hari ini.
Sementara itu dari pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang AS (Treasury) berjangka panjang memang cenderung flat di 1,48%. Namun untuk tenor pendek 1 bulan, yield-nya menguat ke level 0,14% dan menjadi level tertinggi sejak Oktober 2020.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bursa Asia Mayoritas Dibuka Hijau, KOSPI Memimpin!
