Tanri Abeng: Soal BUMN 'Zombie', Harus Segera Ditutup!
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) periode 1998-1999 Tanri Abeng menyebutkan rencana penutupan BUMN yang sudah tidak beroperasi yang akan dilakukan oleh Menteri BUMN petahana Erick Thohir bukanlah kebijakan baru.
Langkah ini sebenarnya sudah digagas sejak 23 tahun lalu. Kebijakan ini sudah dimulai sejak terjadinya krisis di Indonesia pada 1998 yang sudah dipetakan di era kepemimpinannya, bersama dengan rencana profitisasi, penggabungan dan holdingisasi perusahaan pascakrisis.
"Yang keempat itu [BUMN] itu divestment, artinya BUMN yang menjadi beban dan tidak mungkin kita turn around [membalikkan keadaan], tidak mungkin kita perbaiki itu harus dilepas saja, di-divest, apakah dijual, apakah ditutup, apakah itu diserahkan kepada karyawan," kata Tanri dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV, Senin (27/9/2021).
"Dan itu 1998 seperti Sandang [PT Industri Sandang Nusantara (Persero)], Iglas [PT Industri Gelas (Persero)], Trading, Leces [PT Kertas Leces (Persero)] sudah dipetakan waktu itu. Jadi bukan barang baru. Tetapi aksi yang baru oleh kementerian baru ini Pak Erick Thohir punya keberanian untuk melakukan hal-hal yang harus dilakukan itu," lanjutnya.
Mantan Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) ini mengatakan sudah seharusnya penutupan BUMN yang sudah tak operasional ini dilakukan, bahkan saat ini sudah dinilai terlambat karena sudah digagas sejak dahulu.
Sayangnya, kata dia, hal ini tidak menjadi prioritas bagi menteri-menteri BUMN sebelumnya. Hal ini yang menjadi sebab divestasi maupun penutupan BUMN yang ini tak kunjung selesai.
Terlebih, selama ini tak banyak menteri yang menduduki posisi tersebut hingga masa jabatannya habis atau selama lima tahun.
"Barangkali Menteri BUMN terlalu sibuk dengan yang lebih besar dampaknya terhadap pencapaian kinerja BUMN sehingga tidak terpikirkan menuntaskan langkah yang diambil untuk menyelesaikan, membereskan, melakukan divestment, penutupan, ataupun penjualan dari BUMN yang bermasalah itu," ungkapnya.
Kendala lainnya yang juga menjadi perhatian adalah perihal legal. Namun, imbuh dia, kendala ini dinilai bisa dipelajari dan diselesaikan, poin paling penting adalah keputusan untuk menjalankan kebijakan tersebut.
"Makanya saya dukung Pak Erick itu ambil keputusan-keputusan, action. Kalau tidak nanti menteri berikutnya masih ada ini barang padahal ini barang yang merupakan problem bukan solusi terhadap BUMN kita. Itu mungkin masalahnya," tandasnya.
Adapun saat ini kementerian mencatat setidaknya terdapat tujuh perusahaan pelat merah yang sudah tak beroperasi sejak lama dan seharusnya sudah ditutup. Namun, sayangnya untuk menutup perusahaan ini, kementerian terkendala dengan aturan yang seharusnya bisa diringankan.
Erick menyebutkan untuk memperlancar penutupan BUMN ini diperlukan intervensi dari sisi aturan dan dukungan melalui UU BUMN.
Untuk itu dia meminta kepada DPR untuk bisa memberikan peran kementerian menjadi lebih besar dalam pengelolaan perusahaan pelat merah, terutama dalam hal menutup hingga merestrukturisasi perusahaan. Hal ini diajukan sejalan dengan tengah dilakukannya pembahasan amandemen UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
"Tapi dalam konteks kami diberi kesempatan bersama Komisi VI untuk bisa menutup atau merestrukturisasi, toh kita bersama-sama yang mengawal ini yang saya rasa di rencana UU BUMN itu perlu mendapat penekanan dan power lebih untuk kami melakukan," kata Erick dalam kesempatan yang sama.
Dengan demikian, diharapkan dengan amandemen UU tersebut bisa menjadi jalan keluar bagi permasalahan tersebut.
Ketujuh BUMN yang dimaksud antara lain PT Kertas Leces (Persero), PT Merpati Nusantara Airlines (Persero), PT Industri Gelas (Persero)/Iglas, dan PT Kertas Kraft Aceh (Persero).
Lalu ada PT Industri Sandang Nusantara (Persero), PT Istaka Karya (Persero), dan PT Pembiayaan Armada Niaga Nasional (Persero)/PANN.
(tas/tas)