Optimisme ke Perekonomian Hanya 13%, Saatnya Main Aman?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 September 2021 18:00
pertumbuhan ekonomi
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Kejadian langka terjadi terjadi dari survei yang dilakukan Bank of America (BofA) terhadap para manajer investasi. Hanya sepersepuluh dari para manajer investasi yang disurvei optimistis menatap perekonomian, tetapi di sisi lain nasabah dari BofA justru bullish terhadap pasar saham.

"Sesuatu yang langka, fundamental dan harga aset tidak terkoneksi," kata Michael Hartnett ahli strategi BofA dalam catatan kepada nasabah, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (14/9).

Hasil survei BofA menunjukkan ekspektasi terhadap pertumbuhan ekonomi saat ini berada di level 13% saja, terendah sejak April 2020 atau sebelum setelah virus corona dinyatakan sebagai pandemi. Ekspektasi tersebut tentunya mengkhawatirkan, apalagi jika dilihat dari puncak tertinggi 91% yang dicapai pada Maret tahun ini. Penurunannya sangat tajam.

Penyebaran virus corona varian delta, menjadi alasan utama dibalik kemerosotan ekspektasi tersebut. Maklum saja, negara-negara dengan tingkat vaksinasi tinggi saat ini juga mengalami lonjakan corona varian delta.

Tetapi saat para manajer investasi pesimistis terhadap perekonomian, pasar saham justru sangat bullish. Terlihat dari bursa saham Amerika Serikat (AS) berkali-kali mencatat rekor tertingi sepanjang masa. Indeks S&P 500 sepanjang tahun ini menguat lebih dari 18%, Dow Jones nyaris 13% dan Nasdaq lebih dari 16%.

BofA dengan asset under management US$ 840 miliar, hampir setengah nasabahnya mengatakan menghilangkan proteksi pasar saham untuk tiga bulan ke depan.

Proteksi pasar saham didesain untuk melindungi portolio dari kemerosotan tajam nilai aset, tetapi kini malah berada di level terendah sejak Januari 2008.

Salah satu pemicu bullish-nya pelaku pasar yakni kondisi likuiditas saat ini yang dikatakan terbak sejak sebelum krisis finansial melanda di Juli 2007.

Meski demikian, perbedaan fundamental dan nilai aset tersebut tentunya bisa memicu kemerosotan di pasar saham sewaktu-waktu, jika perekonomian global pada akhirnya benar-benar mengalami pelambatan. Sehingga akan lebih baik mendiversifikasi investasi, tidak hanya di aset berisiko dengan imbal hasil tinggi, tetapi juga di aset aman (safe haven).

Untuk aset aman, emas di bisa menjadi bahan pertimbangan, sebab di September dikatakan menjadi bulan yang bagus bagi emas.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Emas Bakalan Cuan, Tingkat Keyakinan 90%

Sama dengan survei BofA yang jarang terjadi perbedaan fundamental dengan nilai aset, World Gold Council (WGC) juga jarang memberikan pendapat kapan waktu yang tepat untuk membeli emas. Tetapi, dalam laporannya terbarunya WGC memberikan "bisikan".

September dikatakan sebagai bulan yang tepat untuk membeli emas.

"September menjadi salah satu bulan yang secara historis terbaik untuk harga emas, dan ini bisa memberikan peluang bagi investor memasuki kuartal IV tahun ini" kata WGC dalam laporan terbarunya., sebagaimana dilansir Kitco, Senin (13/9).

Analisis dari WGC menunjukkan emas memberikan return yang positif di bulan September "dengan tingkat keyakinan" hampir 90%.

Dua pemicu utama proyeksi kenaikan harga tersebut adalah permintaan fisik yang kuat serta untuk investasi. Khusus untuk bulan ini, WGC juga melihat potensi kenaikan harga emas sebab kurangnya price action di bulan Agustus, selain flash crash yang terjadi pada 9 Agustus lalu. Saat itu, harga emas jeblok hingga 4% dalam kurang dari 15 menit saja.
WGC juga menjelaskan flash crash tersebut terjadi akibat faktor teknikal dan likuiditas yang rendah.

"Flash crash terjadi selama periode dimana likuiditas rendah di pasar global di semua aset. Kemudian ada faktor teknikal, yakni death cross dimana rerata pergerakan 50 hari (moving average/MA 50) yang menyilang MA 200. Kemudian yang kedua, penurunan harga yang cepat memicu order stop loss yang membuat emas efek bola salju," kata WGC

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular