
Sepekan Jeblok 1,8%, Kurs Dola Australia Akhirnya Naik

Jakarta, CNBC Indonesia -Â Bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) yang memperpanjang program pembelian aset (quantitative easing/QE) membuat mata uangnya jeblok hingga 1,8% melawan rupiah pada pekan lalu. Sementara pada perdagangan hari ini, Senin (13/9/2021), dolar Australia berhasil bangkit.
Pada pukul 11:03 WIB, SG$ 1 setara Rp 10.479,45, dolar Australia menguat 0,34% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Pada Selasa (7/9/2021) RBA mengumumkan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) menjadi AU$ 4 miliar per pekan dari sebelumnya AU$ 5 miliar. Tapering yang dilakukan RBA itu sebenarnya sudah diungkapkan pada pengumuman kebijakan moneter bulan Agustus lalu. Tetapi ada sedikit kejutan, yakni periode waktunya yang diperpanjang.
RBA sebelumnya menyatakan QE akan dilakukan hingga bulan November tahun ini, tetapi Selasa lalu diumumkan hingga Februari 2022, artinya diperpanjang 4 bulan lagi. Hal tersebut yang membuat dolar Australia tertekan.
"Ini yang kita sebut tapering dovish, mereka tetap berkomitmen melakukan pembelian obligasi AU$ 4 miliar, tetapi diperpanjang setidaknya hingga 6 bulan" kata Su-Lin Ong, kepala strategi fixed income di RBC Capital Market, sebagaimana dilansir Reuters.
"Faktanya mereka senang melakukan tapering, tetapi mempertahankannya lebih lama, hal itu menunjukkan kepada anda mereka masih menyuntikkan stimulus yang besar ke sistem finansial," tambahnya.
Semakin besar stimulus berarti jumlah uang yang beredar akan semakin banyak, sehingga menyulitkan dolar Australia untuk menguat. Secara teori, semakin banyak uang beredar, maka nilai tukar akan melemah.
Apalagi, RBA masih belum merubah proyeksinya terkait suku bunga 0,1%. Dalam rapat kali ini RBA sekali lagi menegaskan suku bunga baru akan dinaikkan hingga pertumbuhan upah dan inflasi mencapai target, dan itu diperkirakan baru akan terjadi di tahun 2024.
Analis mata uang dari MUFG masih berhati-hati melihat outlook dolar Australia pasca pengumuman RBA, yang dikatakan dovish.
"Meski RBA mulai mengurangi QE, tetapi secara keseluruhan rencana normalisasi kebijakannya menjadi yang paling dovish diantara negara G10," kata analis tersebut.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tahun Lalu Jeblok 4%, Dolar Australia Turun Lagi di Awal 2022
