Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dunia bergerak turun pada perdagangan hari ini. Namun koreksi harga si emas hitam tidak banyak, relatif tipis saja.
Pada Jumat (10/9/2021) pukul 07:24 WIB, harga minyak jenis brent berada di US$ 71,38/barel. Turun 0,1% dari hari sebelumnya.
Sementara yang jenis light sweet harganya US$ 68,02/barel. Berkurang 0,18%.
 Sumber: Refinitiv |
Berbagai sentimen memang tidak mendukung kenaikan harga minyak. Satu, pemerintah China mengungkapkan rencana untuk menggelontorkan cadangan minyak negara. Langkah ini dilakukan untuk mengendalikan harga.
Pada Agustus 2021, inflasi di level produsen (Producer's Price Index/PPI) tercatat 9,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Laju paling cepat sejak Agustus 2008. Penyebabnya adalah harga bahan baku yang tinggi, termasuk untuk sumber energi di mana minyak adalah salah satunya.
Oleh karena itu, pemerintahan Presiden Xi Jinping berencana 'mengguyur' pasar dengan stok minyak negara. Dengan begitu, harga diharapkan bisa turun dan tidak membebani dunia usaha.
"Ini adalah berita besar di pasar. Pasti akan melegakan bagi dunia usaha di China," ujar Edward Moya, Senior Market Analyst di OANDA, seperti dikutip dari Reuters.
Halaman Selanjutnya --> Tapering The Fed Ikut Tekan Harga Minyak
Dua, investor sedang gandrung memburu obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS). Dalam lelang surat utang pemerintah Presiden Joseph 'Joe' Biden malam tadi waktu Indonesia, permintaan membeludak. Tingginya permintaan menyebabkan imbal hasil (yield) obligasi tenor 30 tahun turun ke 1,91%.
Penyebabnya adalah rilis data ketenagakerjaan terbaru di Negeri Paman Sam. Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan jumlah klaim tunjangan pengangguran pekan lalu turun 35.000 menjadi 310.000. Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 335.000.
Pasar tenaga kerja AS yang semakin pulih membuat investor yakin bahwa bank sentral The Federal Reserve/The Fed akan segera melakukan pengetatan kebijakan (tapering off). Sebagai awalan, pembelian surat berharga (quantitative easing) akan dikurangi dari yang saat ini bernilai US$ 120 miliar/bulan. Pada akhirnya, suku bunga acuan akan dinaikkan dari posisi sekarang yang dekat dengan 0%.
Dua pejabat teras The Fed sudah bicara soal kemungkinan tapering bisa dilakukan tahun ini. Michelle 'Miki' Bowman, Anggota Dewan Gubernur The Fed, menilai arah kebijakan memang selalu ditentukan oleh data (data dependent). Namun berbagai data yang ada sudah mengarah ke perbaikan.
"Walau sebagian data belum sebaik yang kita perkirakan, tetapi kita tetap melihat ekonomi AS tumbuh tinggi. Kita sudah semakin dekat dengan target maximum employment (penciptaan lapangan kerja maksimal). Jika data mendukung, yang saya rasa demikian, maka menjadi layak (appropriate) bagi kami untuk memulai proses mengurangi pembelian aset pada tahun ini," papar Bowman dana sebuah acara yang dihelat American Bankers Association, seperti dikutip dari Reuters.
Sementara James Bullard, Presiden The Fed St Louis, menilai bank sentral harus segera move on dan merealisasikan rencana pengurangan stimulus. Sebab, pasar tenaga kerja terlihat semakin kuat.
"Permintaan terhadap tenaga kerja meningkat. Jika kita bisa membuat pemberi kerja dan pencari kerja bertemu dan berharap pandemi bisa lebih terkendali, maka pasar tenaga kerja akan sangat kuat tahun depan. Jadi gambaran besarnya adalah tapering bisa dimulai tahun ini dan berakhir pada paruh pertama tahun depan," ungkap Bullard dalam wawancara bersama Financial Times, juga dikutip dari Reuters.
Wacana pengurangan quantitative easing yang semakin terang-benderang akan membuat pasokan dolar AS berkurang, tidak sederas sekarang. Ini membuat mata uang Negeri Stars and Stripes menjadi menarik sehingga diburu pelaku pasar.
Kemudian suku bunga acuan yang cepat atau lambat akan naik bakal ikut mendorong yield obligasi. Tertarik dengan iming-iming prospek kenaikan yield, investor pun memborong US Traeasury Bonds dan meninggalkan aset-aset lain. Salah satunya adalah minyak.
Sentimen ketiga, masih dari AS, adalah rilis data stok minyak terkini. Pada pekan yang berakhir 3 September 2021, US Energy Information Administration mencatat stok minyak AS berkurang 1,5 juta barel dibandingkan pekan sebelumnya. Jauh di bawah konsensus pasar yang memperkirakan penurunan 4,6 juta barel.
Jadi meski stok minyak AS berkurang, tetapi masih relatif melimpah karena penurunannya tidak sedalam perkiraan. Ini menjadi salah satu yang membebani harga sehingga sulit naik.
TIM RISET CNBC INDONESIA