
Berebut Fintech, Crazy Rich ASEAN Getol Danai Startup di RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Salah satu anggota keluarga dari klan terkaya di Thailand, Chatchaval Jiaravanon lebih suka memilih jalan yang berbeda untuk mengembangkan bisnis financial technology (fintech), alih-alih mengikuti jejak bisnis keluarganya yang merupakan penguasa The Charoen Pokphand (CP) Group.
Setelah mencoba bisnis energi (ladang angin), kartu kredit, dan bahkan sempat membeli majalah Fortune, langkah terbaru yang ingin ia jejaki adalah menggabungkan blockchain dengan sektor keuangan. Blockchain bisa diartikan sebagai sistem penyimpanan data digital berisikan catatan yang terhubung melalui kriptografi.
Dilaporkan The Star, Chatchaval menginvestasikan sekitar US$ 10 juta atau setara Rp 145 miliar (kurs Rp 14.500/US$) pada tahun 2018 untuk membuat Lightnet, layanan pengiriman uang yang menggunakan sistem blockchain terdesentralisasi untuk mentransfer uang ke negara lain dalam jangka waktu satu hari.
Sementara bank tradisional yang masih mengandalkan jaringan SWIFT yang sudah ada selama hampir setengah abad, membutuhkan waktu dua hingga tiga hari.
SWIFT atau Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication merupakan lembaga yang berdiri tahun 1973 yang beroperasi di seluruh dunia sebagai financial messaging network, melakukan pengiriman pesan transaksi atau perintah secara aman antar lembaga keuangan bank atau non-bank.
Chatchaval, yang merupakan anak dari Executive Chairman CP Group Sumet Jiaravanon, terinspirasi untuk membuat Lightnet berkat kemitraan bisnis kartu kreditnya dengan Aeon Financial Service Co. Jepang yang dimulai lebih dari dua dekade lalu.
Dari kerja sama tersebut, dia melihat adanya permintaan "besar" di Asia Tenggara untuk mengirim uang ke luar negeri.
Berkantor pusat di Singapura, perusahaan fintech tersebut berhasil mengumpulkan lebih dari US$ 31 juta (Rp 450 miliar) dan telah membuka kantor di beberapa negara seperti Thailand, Filipina, Korea Selatan dan Cina.
Mereka bermitra dengan lebih dari 24 lembaga keuangan termasuk Bank UOB Singapura dan perusahaan pengiriman uang asal AS MoneyGram International Inc., serta bekerjasama dengan Visa.
Transaksi Lightnet mencapai US$ 1 miliar (Rp 14,5 triliun) pada tahun 2020, dan perusahaan menargetkan US$ 15 miliar (Rp 217 triliun) dalam 3 tahun ke depan, menurut Chatchaval.
Dalam wawancara bersama Bloomberg di April lalu, Chatchaval mengatakan bahwa tahun 2020 merupakan tahun yang sangat menantang bagi semua orang, tetapi akibat dari pandemi terjadi peningkatan adopsi digital dan juga ledakan fintech di seluruh Asia Tenggara, termasuk pembayaran global, dompet elektronik, konferensi video, dan alat digital lainnya.
Chatchaval juga mengatakan cepatnya pemulihan ekonomi China memberikan lebih banyak peluang untuk Lightnet.
China merupakan salah satu negara teratas yang melaksanakan investasi asing langsung (FDI, foreign direct investment) ke negara-negara Asia Tenggara.
Chatchaval menambahkan perusahaannya menyediakan layanan B2B di sana dan ingin membangun lebih banyak kemitraan dengan lembaga keuangan, pembayaran, dan perusahaan pengiriman uang.
Selain fintech, Chatchaval juga memiliki ladang angin yang beroperasi di bagian utara Thailand, dan memerlukan keahlian untuk menganalisis aliran angin dan memasang kincir angin di tempat yang tepat. Ladang angin ini menyediakan listrik bersih untuk pemerintah, dan ingin diperluas ke wilayah lain di Asia Tenggara.
NEXT: Jorjoran Danai Startup RI
