
IHSG Masih Berat Tinggalkan 6.000-6.100! Apalagi di September

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah terkoreksi 1,53% secara month to date (mtd). Apabila ditarik lebih ke belakang lagi, IHSG sejatinya cenderung jalan di tempat sejak awal Juni 2021.
Untuk pertama kalinya IHSG keluar dari level psikologis 6.200 di akhir Maret. Akhir bulan Mei, IHSG keluar dari level psikologis 6.000. Setelah itu indeks saham acuan domestik rebound.
Namun sayang IHSG tak kuat untuk nanjak lebih jauh. IHSG hanya mondar-mandir di kisaran 6.000-6.100 saja. Sempat sekali indeks menyentuh level 6.200 lagi, tetapi penguatan tersebut hanya bersifat temporer saja.
Kalau dilihat sebetulnya asing justru membukukan aksi beli bersih di pasar saham domestik. Berdasarkan data RTI, total net foreign buy asing di pasar regular mencapai Rp 6,4 triliun dalam 3 bulan terakhir. Sayang seribu sayang kekuatan beli asing tersebut tak kuasa mengangkat performa indeks.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hoesen membeberkan alasan kenapa IHSG sulit keluar dari zona nyamannnya saat ini. Menurutnya sentiment yang menahan pergerakan pasar adalah munculnya varian Delta Covid-19 dan pemberlakuan PPKM leveling di regional Jawa dan Bali.
Di tengah adanya ancaman terhadap perekonomian, investor juga cenderung lebih berhati-hati dalam mengalokasikan aset dalam portofolio. Aset berisiko seperti saham cenderung dikurangi sementara aset yang kurang berisiko seperti obligasi pemerintah diminati.
Hal ini terlihat jelas dari tren pergerakan menurun yield obligasi pemerintah berdenominasi rupiah. Yield SUN 10 tahun cenderung turun mendekati 6%. Artinya harga obligasi sedang naik ketika yield-nya turun. Minat terhadap obligasi pemerintah semakin terlihat dari jumlah tawaran yang masuk ke lelang SUN dan Sukuk belakangan ini.
Kini masuk bulan September banyak pelaku pasar sudah siap siaga dan mengantisipasi adanya koreksi.
Jika berkaca pada kinerja indeks di bulan September selama 10 tahun terakhir, peluang koreksinya tergolong besar yaitu mencapai 60%. Rerata koreksi dalam satu dekade terakhir mencapai 1,6%.
Di balik kinerja indeks yang tak memuaskan di bulan September, ternyata hal ini juga diantisipasi secara global. Ada fenomena yang disebut 'summer effect' di mana fund manager baru kembali dari liburan musim panas dan kembali ke pasar serta melakukan rebalancing portofolio.
Kemudian biasanya emiten akan membagikan dividen di bulan Mei-Juli. Selanjutnya emiten akan merilis laporan keuangan kuartal keduanya di bulan Agustus. Setelah itu di bulan September IHSG cenderung minim sentiment dan menjadi rawan koreksi.
Kekhawatiran akan terjadinya koreksi di bulan September sebenarnya cukup beralasan. Di Wall Street saja banyak yang mulai memprediksi pasar akan cenderung mengalami periode bearish. Bahkan ada yang menyebut pasar berpeluang ambles 10%.
Alasannya adalah valuasi aset ekuitas yang sudah tergolong tinggi. Secara year to date (ytd), indeks S&P 500 sudah terapresiasi lebih dari 20% di saat IHSG hanya jalan di tempat. Di bulan September bank sentral AS The Fed juga diharapkan bakal mengumumkan periode tapering.
Kombinasi valuasi aset yang sudah cenderung premium di Wall Street dan rencana tapering oleh The Fed lebih dini di akhir tahun ini bisa memicu aksi jual di pasar saham. Koreksi yang terjadi di Wall Street sangat mungkin menular ke pasar keuangan negara lain seperti Asia dan tak terkecuali Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article IHSG Balas Dendam, tapi Apa Kuat ke 7.000 Lagi?