Siapa Sosok Ongko & 2 Bos Aspac yang Ditagih BLBI Rp 11,7 T?

Jakarta, CNBC Indonesia - Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) gencar bekerja memanggil para obligor dan debitur lewat media massa dalam sebulan terakhir ini.
Sebelumnya pemanggilan ditujukan kepada Kaharudin Ongko yang merupakan petinggi dari Bank Umum Nasional (BUN), setelah itu panggilan lanjut ke dua petinggi PT Bank Asia Pacific (Aspac) yakni Setiawan Harjono (atau Steven Hui) dan Hendrawan Haryono (Xu Jing Nan).
Berdasarkan data lembaran pengumuman dengan nomor S-3/KSB/PP/2021, total tagihan yang harus dibayarkan adalah Kaharudin Ongko Rp 8,2 triliun.
Tagihan itu meliputi Rp 7,8 triliun dari PKPS (penyelesaian kewajiban pemegang saham) Bank Umum Nasional (BUN) dan Rp 359,4 miliar dari PKPS Bank Arya Panduarta.
Kaharudin diketahui memiliki tiga alamat, yaitu Paterson Hill Singapura dan dua lainnya di dalam negeri antara lain di Setiabudi, Jakarta Selatan dan Menteng Jakarta Pusat.
Satgas menginginkan kehadiran Kaharudin pada Selasa kemarin 7 September 2021 di kantor Kementerian Keuangan dan menemui Ketua Pokja Penagihan dan Litigasi Tim C.
Berdasarkan sejumlah sumber pemberitaan media massa, Kaharudin Ongko merupakan pemilik sekaligus Wakil Komisaris Utama BUN. BUN didirikan oleh beberapa tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) di Jakarta pada 2 September 1952.
Pada 1954, BUN berhasil meningkatkan statusnya dari bank swasta non-devisa menjadi bank devisa. Pada 1967, jumlah cabangnya telah mencapai 11 cabang di Indonesia.
Seiring jalannya waktu, pemilik tidak mampu mengelola perkembangan bank sesuai dengan tuntutan zaman, pada awal era Orde Baru mereka menyerahkan manajemen serta saham bank kepada sekelompok pengusaha swasta di bawah pimpinan Kaharudin Ongko.
Informasi Kaharuddin ini juga disampaikan dalam dokumen berjudul "Weakening of Corruption Eradication Commission In Indonesia" yang ditulis oleh tim National Coalition of Indonesia for Anticorruption, termasuk Indonesia Corruption Watch (ICW), dan disampaikan dalam forum United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) November 2009 di Doha, Qatar.
Kaharudin Ongko juga dikenal sebagai 'raja keramik Indonesia' karena KIA-nya.
Saat krisis moneter 1997 menghantam, perbankan di Indonesia kolaps, tak terkecuali BUN.
Untuk menahan kebangkrutan di tubuh BUN saat krisis moneter, pemerintah melalui BLBI menyuntikkan dana bantuan total senilai Rp 12 triliun lebih.
Dari jumlah tersebut Rp 8,34 triliun di antaranya mengalir ke kas BUN. Namun, BUN tetap tidak tertolong, bukan hanya karena ditarik masif oleh nasabahnya, namun juga dijebol oleh grup Ongko sendiri.
Perusahaan yang terafiliasi dengan Ongko memiliki simpanan di BUN, di antaranya adalah PT KIA Keramik Mas, PT Ongko Sekuritas, PT Indokisar Djaya, dan PT Bunas Finance Indonesia.
Pengalihan dana dilakukan menggunakan cek, bilyet, giro, dan transfer. Padahal, ketentuan dana BLBI tak boleh disalurkan ke pemilik dan manajemen bank, serta pihak-pihak terkait.
Usaha Ongko tersebut terendus oleh aparat penegak hukum di Indonesia. Pada 2003 silam, Kaharudin Ongko didakwa 16 tahun penjara karena diyakini telah menggelapkan Rp 6,7 triliun dana BLBI.
Di balik Undang-Undang Perseroan Terbatas yang berlaku, saat itu Ongko menyatakan bahwa sebagai komisaris dia tidak ikut campur dalam urusan operasional bank yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab direksi.
Atas dalih tersebut, dakwaan 16 tahun penjara kepada Ongko kemudian digugurkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan Ongko dinyatakan bebas.
Sejak pembebasannya saat itu, Ongko sulit dijangkau.
Dari berbagai sumber pemberitaan, ada yang mengatakan Ongko telah kabur ke luar negeri.
Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban menjelaskan berdasarkan informasi yang diketahui yang bersangkutan sebelumnya berada di Singapura.
"Yang kita tahu dia ada di Singapura," katanya ditemui di Gedung Syafrudin Prawiranegara, Selasa (7/9/2021), dikutip Detikfinance.
"Kalau (diumumkan) lewat koran artinya 2 kali dia sudah tidak datang," tambahnya.
NEXT: Ada Duo Bos Aspac
Selain Kaharudin Ongko yang ditagih Rp 8,2 triliun, Satgas BLBI juga melakukan panggilan penagihan kepada Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono atas tagihan sebesar Rp 3,57 triliun, sehingga total Rp 11,77 triliun.
Panggilan di media massa ini dilakukan untuk meminta kehadiran kedua orang tersebut pada Kamis (9/9/2021) di Kementerian Keuangan untuk menyelesaikan hak tagih negara atas BLBI tersebut.
"Menyelesaikan hak tagih negara dana BLBI setidak-tidaknya sebesar Rp 3.579,412.035.913,11 dalam rangka PKPS PT Bank Asia Pacific (BBKU)," demikian mengutip agenda dalam pengumuman tersebut, Selasa (7/9/2021).
Kedua orang yang dipanggil ini berkaitan dengan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) PT Bank Asia Pacific yang saat itu merupakan perusahaan terbuka dan listing dengan kode saham BBKU.
Setiawan Harjono memiliki dua alamat yakni North Bridge Road, Singapura dan Menteng, Jakarta Pusat. Sedangkan Hendrawan Harjono beralamat di SGX Centre 2, Singapura dan Menteng, Jakarta Pusat.
"Dalam hal saudara obligator atau debitur tidak memenuhi kewajiban penyelesaian hak tagih negara, maka akan dilakukan tindakan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan," bunyi pengumuman tersebut.
![]() Dokumen paparan Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), dok Jurnal.KPK.go.id |
Nama Setiawan Harjono dan Hendrawan Haryono juga terekam dalam data putusan PTUN Jakarta Nomor 171/G/2019/PTUN.JKT tanggal 9 April 2020, ketika itu keduanya dengan nama Steven Hui (Setiawan Harjono) dan Xu Jing Nan (Hendrawan Haryono) menggugat Panitia Urusan Piutang Negara Cabang Daerah Khusus Istimewa Jakarta terkait dengan Penetapan Jumlah Piutang Negara Obligor PKPS Bank Asia Pacific.
Pada 16 Maret 2005, dalam pemberitaan Detik, disebutkan saat itu ada sekitar 50 orang dari Brigade Aksi Tangkap Koruptor (BATK) 'menyegel' rumah milik Setiawan Harjono, mantan Presdir Bank Aspac itu di Jalan Haji Agus Salim No.72, Menteng, Jakarta Pusat.
Aksi ini berlangsung sekitar 15 menit dengan menempelkan kertas yang bertuliskan 'Rumah Ini Disegel Rakyat'.
Aksi yang membuat macet Jalan Agus Salim ini sempat dihalang-halangi oleh aparat dari Polres Jakarta Pusat, sehingga penyegelan tidak berlangsung lama dan para pendemo langsung digiring menjauh dari lokasi.
Berdasarkan informasi Detik, Setiawan Harjono yang juga pemilik RS Abdi Waluyo, Menteng, sudah dijatuhi vonis oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2003 dan berkekuatan hukum tetap. Setiawan Harjono diduga telah mengorupsi dana BLBI sehingga merugikan negara sebesar Rp 583 miliar.
Adapun nama Hendrawan Haryono, mengutip buku "Bank Indonesia dalam Kasus BLBI" terbitan 2002 yang Soehandjono, disebutkan Hendrawan Haryono didudukkan sebagai terdakwa yang pada waktu itu menduduki jabatan sebagai Wakil Direktur Bank Aspac dan pada saat bersamaan merangkap pula sebagai Direktur Kredit Aspac.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ada Utang Rp8,2 T, Sri Mulyani Sita Akun Bank Kaharudin Ongko
