
Bingung Lihat Dolar AS Nih, Rupiah Bisa Sentuh Rp 14.200/US$

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Rupiah melanjutkan tren penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (6/9/2021). Ekspektasi tapering tidak akan dilakukan sebelum akhir tahun membuat dolar AS terpuruk, di sisi lain aliran modal kembali masuk ke dalam negeri yang membuat rupiah perkasa.
Melansir data Refintiv, begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung menguat 0,21% di Rp 14.230/US$, tetapi setelahnya sempat terpangkas hingga stagnan di Rp 14.260/US$.
Selepas tengah hari, apresiasi rupiah semakin besar hingga 0,42% ke Rp 14.200/US$. Sayangnya di akhir perdagangan terpangkas lagi ke Rp 14.220/US$, menguat 0,28% di pasar spot.
Aliran modal masuk ke dalam negeri kembali membuat rupiah perkasa. Di pasar saham, investor asing melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 342 miliar.
Sementara di pasar obligasi yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun turun 3,9 basis poin ke 6,093%. Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika yield turun artinya harga sedang naik, begitu juga sebaliknya. Ketika harga naik, berarti ada aksi beli, dan kemungkinan juga investor asing.
Selisih yield yang sangat besar membuat investor asing tentunya tergiur mengalirkan modalnya ke Indonesia setelah rilis data tenaga kerja AS yang mengecewakan, dan membuat ekspektasi tapering makin mundur.
Selain memicu capital inflow ke Indonesia, rilis data tersebut pada perdagangan Jumat pekan lalu memperparah kondisi dolar AS yang sudah terpuruk.
Data tenaga kerja AS merupakan salah satu acuan bank sentral AS (The Fed) dalam memutuskan kapan waktu tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE). Data lainnya, inflasi, dikatakan sudah mencapai target, sehingga data tenaga kerja menjadi krusial.
Namun, data tenaga kerja AS justru mengecewakan. Departemen Tenaga kerja AS melaporkan penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP) bulan Agustus dilaporkan sebanyak 235.000 orang, jauh di bawah median survei Reuters terhadap para ekonom sebanyak 728.000 orang.
Tingkat pengangguran dilaporkan turun menjadi 5,2% dari sebelumnya 5,4%, sesuai dengan hasil survei Reuters, kemudian rata-rata upah per jam tumbuh 0,6% lebih tinggi dari bulan Juli 0,4%.
Meski tingkat pengangguran turun dan rata-rata upah per jam naik, tetapi yang lebih dilihat pelaku pasar adalah NFP. Sebab, mencerminkan kemampuan negara dengan perekonomian terbesar di dunia menciptakan lapangan pekerjaan.
Rilis tersebut menguatkan ekspektasi The Fed baru akan melakukan tapering di akhir tahun ini, dan tidak menutup kemungkinan mundur di awal tahun depan jika data NFP selanjutnya yang dirilis awal bulan depan juga buruk.
Selain itu, rapat kebijakan moneter The Fed di bulan ini juga dikatakan menjadi kurang penting akibat NFP yang mengecewakan.
"Data tenaga kerja terbaru memberikan alasan Jerome Powell (ketua The Fed) untuk tidak terburu-buru melakukan tapering, dia bisa mengatakan 'saya sudah memberi tahu anda sebelumnya', dan ini membuat rapat kebijakan moneter The Fed menjadi kurang penting," kata JJ Kinahan, kepala strategi pasar di TD Ameritrade di Chicago, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (3/9/2021).
Alhasil, dolar AS terpuruk. Pada Jumat lalu melemah 0,21%, dan dalam sepekan 0,7%. Jika dilihat ke belakangan, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini sudah turun dalam 10 dari 11 hari perdagangan.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Analis Bingung Menentukan Arah Dolar AS
Pergerakan dolar AS belakangan ini membuat para analis kebingungan memperkirakan kemana arah dolar AS dalam jangka pendek hingga menengah.
Sepanjang tahun ini, indeks dolar AS masih membukukan penguatan sekitar 3%. Tetapi, hasil survei terbaru dari Reuters menunjukkan mayoritas analis melihat penguatan tersebut akan terpangkas di sisa tahun ini, dan outlook jangka pendek serta menengah semakin tidak pasti. Survei tersebut dilakukan pada 30 Agustus hingga 2 September lalu, hampir 60 analis mata uang mengatakan hal tersebut.
"Ada dua faktor penting yang menentukan arah dolar AS. Yang pertama adalah pemulihan ekonomi global dan momentum yang kita lihat belakangan ini, dan yang kedua sudah pasti respon bank sentral," kata Kerry Craig, analis dari JP Morgan Asset Management di Melbourne, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (3/9/2021).
Untuk saat ini, baru The Fed yang berancang-ancang merespon pemulihan ekonomi global, dan khususnya ekonomi Amerika Serikat. The Fed, sudah membuka wacana akan melakukan tapering. Langkah yang diperkirakan akan membuat dolar AS menguat, tetapi nyatanya belakangan ini malah tertekan.
Survei yang dilakukan Reuters juga menunjukkan sebanyak 75% dari 51 analis memperkirakan The Fed akan mengumumkan tapering di kuartal IV-2021.
![]() idr |
Reuters juga mengatakan, belum tercapai konsensus dalam 3 bulan ke depan kemana dolar AS akan melangkah. Sebanyak 42% memperkirakan dolar AS akan menguat, 38% melihat akan tetap berada di level saat ini, dan 20% melihat akan melemah.
Selain itu, dalam 12 bulan ke depan, dolar AS masih diprediksi akan melemah. Tetapi survei kali ini juga menunjukkan seberapa yakin akan pelemahan tersebut. Sebanyak 38% masih yakin, 48% tidak yakin, dan sisanya tidak yakin sama sekali.
Hasil survei tersebut menunjukkan para analis masih kebingungan menentukan kemana arah dolar AS ke depannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
