Ada 'Hantu' di Balik Duet Maut Sri Mulyani & BI Tangani Utang

Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia
24 August 2021 12:30
Foto Ilustrasi mata uang Dolar. REUTERS / Daniel Munoz / File Photo
Foto: Foto Ilustrasi mata uang Dolar. REUTERS / Daniel Munoz / File Photo

Ekonom Senior Chatib Basri menyadari yield SBN yang berlaku saat ini sangat tinggi. Padahal inflasi di Indonesia terbilang rendah, yakni hingga Juli sebesar 1,5% (year on year/yoy) dan hingga akhir tahun masih akan di bawah 3%.

Pada sisi lain tidak ada risiko depresiasi rupiah yang terlampau dalam.

Bila dibandingkan dengan yield US treasury, selisihnya jauh berbeda. Sehingga tidak ada kekhawatiran pemerintah sulit menarik utang, sekalipun ada tapering pada tahun depan.

"Selisihnya jauh, bisa 3% lebih, tinggi banget investor dapat segitu. Jadi tidak ada masalah," ujar Chatib kepada CNBC Indonesia.

Menurutnya pemerintah harus memikirkan cara agar yield SBN bisa lebih rendah. Pada 2014 silam, selisih yield SBN dengan US treasury hanya 1%. Namun investor masih tetap berminat mendapatkan obligasi pemerintah.

Misalnya dengan optimalisasi pembiayaan dari sumber lain. Mulai dari pinjaman multilateral hingga burden sharing dengan BI.

"Burden sharing itu bisa relevan dilakukan saat ini. Walaupun kredibilitas BI akan dipertanyakan. Tapi kondisi covid ini memang belum selesai, tidak di Indonesia saja tapi juga dunia," paparnya.

Diketahui pemerintah terpaksa memperlebar defisit APBN dan menambah banyak utang untuk kebutuhan akan penanganan covid-19 beserta dampaknya. Tanpa burden sharing, rasio belanja bunga terhadap PDB adalah 2,40% pada 2021 dan 2,43% di tahun depan atau sekitar Rp 400 triliun.

Melalui kebijakan ini, maka rasio bisa diturunkan ke 2,21% dan 2,19%. Dampak positifnya tidak hanya akan terasa sampai 2022, namun juga pada tahun-tahun berikutnya.

(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular