
Benarkah Amazon Jadi Ancaman Nyata Perbankan Tradisional?

Jakarta, CNBC Indonesia - Raksasa e-commerce global milik crazy rich dunia, Jeff Bezos, Amazon.com dinilai akan menjadi ancaman bagi perbankan tradisional seiring dengan upaya Amazon untuk memperkuat layanan digital dengan menciptakan ekosistem dengan berbagai keunggulannya.
Senior Fintech Analyst di Moor Insights & Strategy, Melody Brue mengatakan pergerakan Amazon saat ini seperti tak terbendung oleh regulator atau pun para pesaingnya.
Perusahaan tersebut kini 'dipersenjatai' dengan banyak paten, sokongan uang tunai yang hampir tidak terbatas, basis pelanggan yang besar dan setia, dan keunggulan data yang tanpa akhir.
"Dengan ini, Amazon dapat menjadi ancaman nyata bagi perbankan tradisional. Namun, Amazon tetap sangat fokus dalam membangun produk layanan keuangan yang mendukung tujuan strategis intinya: meningkatkan partisipasi dalam ekosistem Amazon dan mengatasi inefisiensi," kata Brue dalam ulasannya berjudul "Is Amazon Building The Next Generation Bank?" di Forbes, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (12/8/2021).
Selama bertahun-tahun, Amazon terus membangun lini produk guna meningkatkan partisipasi dalam ekosistem Amazon.
Perusahaan telah membangun, mengakuisisi, bermitra, dan meluncurkan tools yang memperluas partisipasi dan aktivitas pedagang, jumlah pelanggan, meningkatkan kapasitas pembayaran, dan mengurangi gesekan pada sisi jual dan beli.
Strategi-strategi tersebut dijalankan demi bisa memecahkan inefisiensi bagi 310 juta pelanggan aktifnya, 100 juta pelanggan Amazon Prime (platform hiburan Amazon), 50 juta pelanggan Amazon Echo (layanan asisten pribadi cerdas), dan 5 juta penjual di seluruh dunia.
Brue menilai tampaknya Amazon fokus pada strategi mengambil komponen inti dari perbankan dan menggunakannya untuk mendukung pedagang dan pelanggannya dengan sebaik-baiknya.
Seperti yang dirangkum oleh studi CB Insights, "dalam arti tertentu, Amazon sedang membangun bank untuk dirinya sendiri."
Namun, katanya, ada beberapa kategori di mana bank tradisional tidak boleh mengesampingkan Amazon sebagai pesaing yang signifikan.
"Dengan kapitalisasi pasar yang mendekati US$ 1 triliun, posisi Amazon tidak dapat dikesampingkan dari apapun," tegas Brue.
Dia menjelaskan, Amazon telah lama bereksperimen dengan inisiatif keuangan, termasuk bermitra dengan bank-bank besar AS yang menawarkan pembukaan rekening di situs marketplace.
Sementara itu, Amazon juga terus memperluas dan mengembangkan penawaran soal layanan keuangan.
"Saat Office of the Comptroller of the Currency [Kantor Pengawas Keuangan Mata Uang/OCC) mulai memperkenalkan kebijakan yang akan menyamakan kedudukan di sektor perbankan, saya percaya disrupsi fintech [financial technology], big tech, dan startup mungkin memiliki keunggulan yang lebih kompetitif," katanya.
Menurut dia, Amazon yang punya 'DNA" sebagai platform, berkembang dengan berakar pada strategi distribusi, integrasi, logistik, kenyamanan dan kepuasan instan para pelanggannya.
Ketika Amazon menerapkan strategi tersebut ke layanan keuangan, maka besar kemungkinan strategi tersebut dapat membantu lembaga keuangan untuk memproses, menanggung, dan melayani pinjaman dengan biaya lebih rendah daripada yang dikenakan bank saat ini, sambil memenuhi permintaan yang lebih tinggi.
Perusahaan pun tidak memiliki alasan untuk menjadi pemberi pinjaman (lender, kreditor) dalam kasus ini. Amazon nantinya hanya mengambil bagian dari bisnis jasa keuangan (financial institution) sambil menawarkan solusi tambahan vertikal seperti KYC (know your customer) dan AML (anti money laundering) dengan biaya tambahan.
Di luar perbankan
Amazon menggunakan teknologi Just Walk Out. Tanpa perlu mengantre dan checkout, para pelanggan Amazon Go dapat berbelanja dengan mudah dan cepat.
Dengan konsep ini, memungkinkan pelanggan mengambil produk yang mereka beli tanpa perlu mengantre untuk membayar. Tak hanya itu, produk yang dipilih pelanggan pun tidak perlu diperiksa saat mereka keluar dari toko. Setelah mengambil produk, pelanggan bisa langsung meninggalkan toko Amazon Go.
Situs Amazon mencatat, pelanggan Amazon Go hanya perlu memiliki akun Amazon, aplikasi Amazon GO, dan generasi smartphone terbaru. Ketika pelanggan tiba untuk berbelanja, mereka hanya perlu menggunakan aplikasi tersebut untuk dapat masuk ke dalam toko. Setelah itu, pelanggan dapat dengan bebas meletakkan smartphone mereka di manapun.
Secara otomatis, aplikasi ini akan menangkap sinyal dari produk apa yang diambil atau dikembalikan pelanggan ke rak-rak yang ada. Usai mengambil produk yang diinginkan, pelanggan pun dapat langsung meninggalkan toko.
Perusahaan juga telah meluncurkan Amazon One, yang menggunakan teknologi pemindaian telapak tangan untuk menghilangkan kebutuhan akan metode pembayaran fisik apa pun.
Konsumen juga dapat memberi tahu Alexa untuk membayar bensin, tiket bioskop, dan tagihan listrik, melalui kemitraan dengan fintech dan perusahaan lain.
Menurut Konsensus Analis Industri CB Insights, pasar belanja dengan teknologi suara secara global siap bertumbuh menjadi US$ 40 miliar atau setara dengan Rp 580 triliun (kurs Rp 14.500/US$) pada 2022 dari saat ini US$ 2 miliar atau sekitar Rp 29 triliun.
Namun menurut Brue, Amazon bukan satu-satunya pemain di ruang teknologi ritel otomatis ini. AiFi membuat toko ritel otonom dengan platform visi kamera yang menarik. AiFi, Inc. adalah perusahaan teknologi ritel otomatis swasta dengan platform visi komputer untuk pasar swalayan.
"Meskipun Amazon telah mengalami banyak pivot [perubahan strategi] dan kegagalan produk di sepanjang perjalanannya, Amazon masih tidak takut beralih dari e-commerce ke pemberdayaan omnichannel."
"[Apa Amazon bakal] jadi bank generasi berikutnya? Mungkin tidak. Tetapi dengan satu atau lain cara, Amazon kemungkinan akan menggunakan data, distribusi, dan pemberdayaannya yang luas untuk mengubah cara pelanggannya merasakan layanan perbankan," tegas Brue.
NEXT: Bank Mana yang Berpeluang Jadi Mitra Amazon?
Di Indonesia, persaingan layanan bank digital di Tanah Air diprediksi semakin semarak dengan kabar hadirnya investor baru dari global yang tengah menjajaki pasar dan mencari mitra strategis untuk masuk ke bank digital di Indonesia.
Saat ini sejumlah bank dengan layanan digital sudah disokong oleh perusahaan investasi, private equity, modal ventura (venture capital), perusahaan startup fintech, ride-hailing, hingga perusahaan jasa keuangan tradisional.
Salah satu investor global yang disebut-sebut tengah ancang-ancang masuk ialah Amazon, milik orang terkaya di dunia versi Forbes, Jeff Bezos. Bezos punya kekayaan bersih senilai US$ 193,3 miliar atau setara dengan Rp 2.802 triliun (kurs Rp 14.500/US$).
Managing Partner IndoGen Capital, Chandra Firmanto, mengatakan banyak investor global melirik pasar digital di Indonesia termasuk sektor layanan bank digital.
Menurut dia nama-nama besar seperti Amazon pun diketahui tidak hanya menjajaki satu pihak, tapi juga berupaya mencari calon potensial lain yang bisa berpeluang bermitra.
"Ada Amazon, jadi semuanya di-approach [didekati], bayangkan kalau Anda jadi investor Amazon, gak mungkin Anda pergi cuma satu tempat [menjajaki mitra], mereka itu ga berfikir terlalu lama, decision making-nya cepat," katanya kepada CNBC Indonesia, Jumat pekan lalu (6/8).
Menurut Chandra yang berpengalaman di Silicon Valley AS dalam menilai startup, banyak investor besar sudah melirik pasar digital Indonesia. Dia menegaskan, jika investor-investor itu kategori besar, tentu Indonesia jadi prioritas.
"Banyak lagi [siap masuk], saya belum tahu, tapi gak cuma Amazon, yang jelas kalau dia [calon investor ini] pemain besar dunia, dia pasti ke Indonesia. Belum lagi ada Flipkart [aplikasi e-commerce] dari India, orang ga fikir Flipkart itu seperti apa, orang-orang melupakan itu, padahal kapasitasnya besar. Yang saya tau banyak yang deketin kita dari global," kata Chandra yang juga mentor for Japan External Trade Organization and Korean Trade Association ini.
CNBC Indonesia mencatat, saat ini ada beberapa bank layanan digital yang ditopang oleh investor global, misalnya PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang ditopang bankir Jerry Ng dan kawan-kawan bersama Patrick Walujo dari Grup Northstar dan PT Bank BTPN Tbk (BTPN) dari Grup SMBC Group (Sumitomo Mitsubishi).
Lalu ada Gojek dan dana abadi dari Singapura GIC yang menyokong Bank Jago.
Kemudian ada PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB) yang ditopang Akulaku (fintech yang ditunjang oleh anak usaha Alibaba), PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) dari Grup CT Corp, PT Bank MNC Internasional Tbk (BABP), dan PT Bank Bisnis International Tbk (BBSI) yang ditopang Kredivo.
Kemudian ada PT Bank Aladin Syariah Tbk (BANK) yang dikendalikan oleh Grup NTI Global, lalu ada PT Bank Seabank Indonesia (non-Tbk) milik Sea Ltd asal Singapura.
Adapun Emtek Group (PT Elang Mahkota Teknologi Tbk/EMTK) berinvestasi di Grab dan e-commerce yang baru saja tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Jumat lalu (6/8) yakni PT Bukalapak.com Tbk (BUKA).
Sementara itu bank dengan kapitalisasi pasar terbesar di BEI, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) membuat bank digital yakni PT Bank Digital BCA, metamorfosis dari Bank Royal yang diakuisisi BCA.
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) juga akan mengajukan izin layanan digital untuk anak usahanya PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk (AGRO).
Sementara itu, PT BPD Banten Tbk (BEKS) atau Bank Banten baru dalam tataran rencana bekerjasama untuk layanan komputasi awan (cloud computing) dengan anak usaha Amazon, Amazon Web Services (AWS). Manajemen Bank Banten juga membuka peluang mencari investor strategis, termasuk Amazon.Â
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jadi Siapa Bank Mini yang Bakal Jadi Mitra Amazon?
