Bukan Mimpi! Ketika Indonesia "Say Goodbye" ke Dolar AS

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
09 August 2021 07:05
Dollar
Foto: Seorang karyawan menghitung uang kertas dolar AS di kantor penukaran mata uang di Jakarta, Indonesia 23 Oktober 2018. Gambar diambil 23 Oktober 2018. REUTERS / Beawiharta

Porsi dolar Amerika Serikat (AS) di cadangan devisa (cadev) global terus mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Saat ini, porsinya bahkan terendah dalam 25 tahun terakhir.

Hal tersebut tentunya memunculkan pertanyaan, apakah dolar AS akan lengser dari tahta raja mata uang dunia?

Investor legendaris, Stanley Druckenmiller, pada Mei lalu memberikan peringatan jika dolar AS bisa kehilangan statusnya sebagai raja mata uang dalam 15 tahun ke depan.

Ia menyoroti kebijakan bank sentral AS (The Fed), ditambah dengan kebijakan fiskal saat ini berisiko membawa keruntuhan dolar AS.

"Sepanjang sejarah saya tidak pernah melihat periode dimana kebijakan moneter dan fiskal tidak sejalan dengan kondisi ekonomi seperti saat ini, saya tidak menemukan satu pun," kata Druckenmiller, sebagaimana dilansir Financial Times, akhir Mei lalu.

Druckenmiller sebenarnya mendukung kebijakan The Fed ketika awal pandemi, tetapi menurutnya The Fed mempertahankan kebijakan suku bunga rendah dan pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan terlalu lama.

Kebijakan The Fed tersebut memicu tingginya inflasi di Negeri Paman Sam. Kemudian, kebijakan fiskal yang agresif juga membuat utang AS terus menumpuk. Hal tersebut dikatakan bisa membahayakan status dolar AS sebagai mata uang yang menguasai cadangan devisa global.

Porsi dolar AS memang sudah menurun cukup tajam. Berdasarkan data Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), porsi dolar AS di cadangan devisa global di kuartal I-2021 sebesar 59,54%, naik dari kuartal IV-2021 sebesar 58.94%. Porsi di penghujung tahun lalu tersebut merupakan yang terendah dalam 25 tahun terakhir.

Jika dilihat ke belakang, porsi dolar AS terus menurun semenjak kemunculan euro di tahun 1999. Data dari IMF menunjukkan sejak kemunculan mata uang 19 negara di Eropa ini, porsi dolar AS di cadangan devisa global anjlok 12%.

Berdasarkan rilis IMF, banyak analis mengatakan penurunan porsi dolar AS pada cadangan devisa global sebagian akibat berkurangnya peran mata uang Paman Sam ini di perekonomian global.

Perjanjian bilateral Local Currency Settlement (LCS), yang diterapkan Bank Indonesia dengan beberapa bank sentral negara-negara lain, menjadi salah satu contoh yang membuat peran dolar AS di perekonomian global berkurang.

Sejumlah ekonom menilai dengan LCS ini maka kedua negara yang bekerja sama bisa mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Sehingga kedua mitra dagang, tidak perlu menukar dolar AS terlebih dahulu jika ingin melakukan transaksi perdagangan dan investasi.

Ekonom PT Bank Permata Tbk (BNLI), Josua Pardede mengatakan ekonomi Indonesia sangat rentan akan pergerakan nilai tukar. Contoh saja dalam beberapa tahun terakhir, ketika ekonomi tumbuh tinggi, maka kebutuhan impor melonjak seiring belum bisa disediakannya bahan baku di dalam negeri.

Lonjakan impor memaksa peningkatan kebutuhan dolar oleh kalangan dunia usaha. Itu belum termasuk bila di saat yang sama ada impor minyak oleh PT Pertamina persero dan kewajiban pembayaran utang oleh pemerintah.

"Inisiasi dari BI (Bank Indonesia) mendorong LCS ini untuk mengurangi ketergantungan dolar," ungkap Josua kepada CNBC Indonesia.

(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular