Jakarta, CNBC Indonesia - Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) saat ini tengah memonitor ketat korporasi-korporasi yang terkena dampak lebih berat akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang melanda Indonesia (dan global) sejak Maret 2020.
Risiko yang diperhatikan di antaranya restrukturisasi kredit, potensi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan gugatan kepailitan di pengadilan negeri.
"Kami juga lihat risiko-risiko yang muncul termasuk kita sekarang perhatikan adalah risiko dari restrukturisasi, PKPU dan juga terjadinya kenaikan PKPU dan kepailitan," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang sekaligus Ketua KSSK dalam konferensi pers, Jumat (6/8/2021)
Sri Mulyani menegaskan, apabila dibiarkan, kondisi ini mengkhawatirkan karena akan mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional. Apalagi sampai sekarang belum diketahui kapan pandemi Covid-19 akan berakhir.
"Ini salah satu yang sekarang kami sering lakukan monitoring detail sehingga kita bisa respons secara cepat sama KL [Kementerian/Lembaga] lainnya karena ini tidak hanya KSSK," ujarnya.
Tidak hanya itu, KSSK juga terus memantau korporasi berdasarkan sektoral dan kemampuan untuk pulih lebih cepat, sehingga KSSK bisa menyiapkan kebijakan antisipasi yang lebih cepat dan efisien untuk hal tersebut.
"Pandemi Covid-19 menimbulkan scarring effect, luka dalam. Sekarang kita perlu lihat seberapa dalam luka di perekonomian dan mencegah efek tidak terlalu dalam dan meluas," tegasnya.
KSSK saat ini terdiri dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
NEXT: Apa Kata Bos OJK?
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso juga menegaskan pihaknya akan memantau kinerja debitur terbesar perbankan yang sangat mempengaruhi kinerja perekonomian nasional.
Wimboh mengungkapkan setidaknya ada 10 debitur kakap perbankan nasional yang menjadi fokus pemantauan. Menurutnya, 10 debitur ini adalah berasal dari sektor usaha yang sangat terpengaruh dampak pandemi Covid-19 dan perlu dibantu untuk bisa bertahan.
"Karena debitur-debitur ini adalah yang bisnisnya sangat tergantung dari permintaan domestik dan ini juga sangat tergantung mobilitas," ujarnya.
Adapun debitur-debitur yang dipantau ketat oleh OJK adalah yang bergerak di sektor pariwisata, makanan dan minum serta akomodasi yakni restoran hingga perhotelan, termasuk juga maskapai penerbangan (airlines).
"Debitur-debitur ini termasuk yang usahanya adalah hotel berbintang, termasuk airline ya dan juga restoran restoran, ini ada beberapa yang belum buka," kata dia.
Dari data OJK, 10 debitur besar korporasi ini mencatatkan total kredit sebesar Rp 381,6 triliun pada periode Maret 2020-Juni 2021. Jumlah ini turun 15,5% dibandingkan periode sebelumnya.
"Sehingga inilah yang sebenarnya itu debitur-debitur besar ini kami monitor secara individu," jelasnya.
Sementara itu, untuk debitur korporasi besar lainnya yang sektornya tidak terpengaruh oleh mobilitas masyarakat di tengah pandemi bukan menjadi fokus oleh OJK. Sebab, debitur lainnya ini juga masih melakukan penarikan kredit bank dan bahkan perusahaan-perusahaan tersebut masih bisa mencari pendanaan di pasar modal dengan merilis surat utang atau obligasi.
"Mereka mengeluarkan surat utang di pasar modal cukup besar sehingga di pasar modal kami sampaikan tahun ini saja sampai 16 Juli sudah Rp 116 triliun nilai fund raising di pasar modal. Namun demikian ini akan track terus dan kami monitor secara individu debitur-debitur besar tersebut untuk bisa bangkit kembali," tegasnya.