Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dunia bergerak naik pada perdagangan pagi ini. Sepertinya investor mulai melirik kontrak minyak karena harganya sudah 'jatuh'.
Pada Selasa (20/7/2021) pukul 07:46 WIB, harga minyak jenis brent berada di US$ 68,92/barel. Naik 0,44% dibanding posisi penutupan hari sebelumnya.
Sedangkan yang jenis light sweet harganya US$ 66,86/barel. Bertambah 0,66%.
Kemungkinan technical rebound menjadi penyebab kenaikan harga si emas hitam. Dalam seminggu terakhir, harga brent sudah ambles 9,67%. Light sweet lebih parah, ambrol 11%.
Oleh karena itu, sekarang harga kontrak minyak sudah relatif murah. Ini yang membuat investor kembali bernafsu memburu kontrak minyak.
Halaman Selanjutnya --> Risiko Menghantui Harga Minyak
Akan tetapi, setidaknya ada dua faktor yang bisa menjadi beban bagi harga minyak. Pertama adalah tercapaiannya kesepakatan di OPEC+ yang sempat deadlock.
Uni Emirat Arab yang awalnya mbalelo kini bersedia menyepakati ketentuan soal produksi. Selama Agusts-Desember 2021, produksi akan dinaikkan 2 juta bare;/hari atau 0,4 juta bare/hari setiap bulannya. Selepas itu, produksi dipangkas 9,7 juta barel/hari hingga akhir 2022.
Kesepakatan yang disebut pertama akan membuat pasokan minyak di pasar kedua lebih banyak. Saat pasokan meningkat, maka wajar harga bakal turun.
"Sekarang memang terjadi defisit antara permintaan dan pasokan. Namun dengan tambahan jutaan barel, ini akan cukup untuk menyudahi reli harga minyak," ujar John Kilduff, Partner di Again Capital yang berbasis di New York, seperti diwartakan Reuters.
Faktor kedua adalah pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang kembali mengganas. Per 19 Juli 2021, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di seluruh negara adalah 190.597.409 orang. Jumlah ini hampir sama dengan gabungan populasi Filipina dan Vietnam.
Dalam 14 hari terakhir, rata-rata pasien positif bertambah 467.586 orang dalam sehari. Melonjak dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yaitu 383.753 orang setiap harinya.
Adalah kehadiran virus corona varian baru, terutama delta, yang membuat kasus positif kembali 'meledak'. Varian delta yang kali pertama diidentifikasi di India ini memang lebih menular ketimbang sebelumnya.
"Pandangan pelaku pasar fokus ke lonjakan kasus akibat virus corona varian delta. Ini memunculkan risiko bahwa aktivitas masyarakat akan kembali dibatasi," kata Phil Flynn, Analis Senior di Price Futures Group yang berbasis di Chicago, seperti diberitakan Reuters.
Bahkan virus corona varian delta sudah menyerang Amerika Serikat (AS), yang sempat mampu mengendalikan pandemi. Pekan lalu, pasien positif corona di Negeri Stars and Stripes melonjak 70% dibandingkan pekan sebelumnya sementara angka kematian melesat 26%.
Oleh karena itu, dunia kembali dibayangi oleh risiko lockdown alias karantina wilayah. Kalau ini terjadi lagi, maka otomatis mobilitas masyarakat akan sangat terbatas sehingga permintaan energi turun lagi. Bukan kabar baik untuk harga minyak.
TIM RISET CNBC INDONESIA