Duet "Setan" Corona & Tapering Bikin Rupiah Lemas Tak Berdaya

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 July 2021 09:23
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada pembukaan perdagangan Rabu (14/7/2021). Tekanan datang dari dalam dan luar negeri yang membuat Mata Uang Garuda terpuruk setelah sebelumnya mampu mencatat penguatan 2 hari beruntun.

Melansir data dari Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,06% ke Rp 14.470/US$. Mata Uang Garuda semakin terdepresiasi hingga 0,19% di Rp 14.490/US$ pada pukul 9:08 WIB.

Tekanan dari dalam negeri datang dari kemungkinan diperpanjangnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro Darurat, yang tentunya berisiko menghambat laju pemulihan ekonomi.

PPKM Mikro Darurat sejatinya berakhir pada 20 Juli mendatang, dan ditargetkan mampu menekan angka infeksi harian virus corona di bawah 10.000 orang per hari. Tetapi kenyataannya jumlah kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) terus mencatat rekor.

Kemarin, jumlah kasus positif Covid-19 dilaporkan bertambah sebanyak 47.899 orang, yang merupakan rekor terbanyak, melampaui rekor sebelumnya 40.427.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengaku telah menyiapkan skenario terburuk jika pandemi Covid-19 di Indonesia semakin ganas. bahkan, jika kasus positif menyentuh 70 ribu kasus per hari.

"Kita sudah hitung worst case, lebih dari 40 ribu bagaimana suplai oksigen, obat, rumah sakit, semua sudah kami hitung," tegas Luhut, seperti dikutip Kamis (8/7/2021).
Adanya risiko pandemi Covid-19 yang masih tinggi, khususnya varian baru atau delta, maka pemerintah membuat skenario untuk melaksanakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat sampai dengan 6 minggu.

"PPKM Darurat selama 4-6 minggu dijalankan untuk menahan penyebaran kasus. Mobilitas masyarakat diharapkan menurun signifikan," tulis bahan paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat rapat bersama Banggar DPR, Senin (12/7/2021).

HALAMAN SELANJUTNYA >>> "Setan" Tapering Muncul Lagi, Dolar AS Ngamuk!

Sementara itu data inflasi AS yang dirilis Selasa malam ternyata lebih tinggi dari ekspektasi pelaku pasar, sehingga menguatkan kembali isu tapering di tahun ini, alhasil dolar AS mengamuk. Indeks dolar AS kemarin melesat 0,53%, dan pagi ini berlanjut naik 0,06% ke 92,804.

Inflasi yang dilihat berdasarkan Consumer Price Index (CPI) melesat 5,4% di bulan Juni dari periode yang sama tahun lalu (year-on-year/YoY). Kenaikan tersebut merupakan yang tertinggi sejak Agustus 2008, dan lebih tinggi dari perkiraan para ekonom yang disurvei Dow Jones yang memperkirakan pertumbuhan 5%.

Sementara itu inflasi inti, yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,5%, jauh di atas prediksi 3,8% dan tertinggi sejak September 1991.

Bank sentral AS (The Fed) sebenarnya menggunakan inflasi berdasarkan Personal Consumption Expenditure (PCE) sebagai dasar untuk menetapkan kebijakan moneter termasuk tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE). Tetapi dat inflasi CPI bisa memberikan gambaran seberapa tinggi inflasi PCE nantinya.

Data terakhir menunjukkan inflasi inti PCE di bulan Mei tumbuh 3,4% YoY. Pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 1992.

"Rilis data inflasi menguatkan kembali cerita tapering The Fed dan dolar AS sudah berkonsolidasi dalam beberapa waktu. Saya pikir rilis data inflasi ini yang dibutuhkan dolar AS untuk kembali menguat," kata Kathy Lien, managing director BK Asset Management, sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (13/7/2021).

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular