Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Mata uang Tanah Air juga lesu di perdagangan pasar spot.
Pada Rabu (7/7/2021), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.500. Rupiah melemah 0,22% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Di pasar spot, rupiah pun merah. Kala penutupan perdagangan, US$ 1 setara dengan Rp 14.480 di mana rupiah terdepresiasi 0,1%.
Well, dolar AS memang sulit tertandingi hari ini. Hampir seluruh mata uang utama Asia dibikin tidak berdaya, hanya yuan China yang masih mampu membukukan penguatan.
Namun depresiasi 0,1% sudah cukup untuk menjadikan rupiah sebagai yang terlemah di Asia, bersama ringgit Malaysia dan peso Filipina. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot pada pukul 15:00 WIB:
Halaman Selanjutnya --> Pasar Tunggu Notula Rapat The Fed
Dini hari nanti, bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan merilis notula rapat edisi Juni 2021. Dalam rapat tersebut, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 0-0,25% dan pembelian aset (quantitative easing) US$ 120 miliar per bulan.
Namun, pelaku pasar memperkirakan 'suasana kebatinan' dalam rapat lebih dalam dari itu. Bisa jadi ada perdebatan, sejumlah anggota Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) mungkin mulai bicara soal pengetatan atau tapering off.
Bukan apa-apa, ekonomi AS memang semakin pulih dari dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Sejumlah data terbaru menyebutkan bahwa ekonomi Negeri Paman Sam siap lepas landas.
Pada Mei 2021, pemesanan produk manufaktur buatan AS naik 1,7% dibandingkan bulan sebelumnya. Ini adalah laju tercepat sejak Januari 2021.
Kemudian pada Juni 2021, perekonomian AS berhasil menciptakan 850.000 lapangan kerja. ini adalah terbanyak dalam 10 bulan terakhir.
Lalu pada Juni 2021, IHS Markit melaporkan aktivitas manufaktur yang dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI) berada di 62,1. Jika angka PMI di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi.
"Oleh karena itu, investor berani bertaruh bahwa The Fed akan lebih hawkish. Ini tentu berdampak positif bagi dolar AS," kata Edward Moya, Senior Market Analyst di OANDA, seperti dikutip oleh Reuters.
Saat quantitative easing berkurang (apalagi ketika disetop total), maka pasokan dolar AS bakal berkurang. Seperti barang, pasokan yang tidak lagi melimpah sementara permintaan terus bertambah akan menaikkan harga. Dalam hal ini, bilai tukar dolar AS bakal semakin kuat karena menjadi buruan.
Kemudian kalau suku bunga acuan naik, maka imbalan investasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) akan ikut terungkit. Ini membuat arus modal semakin berkerumun di dekat mata uang Negeri Adikuasa sehingga nilai tukarnya semakin kuat.
TIM RISET CNBC INDONESIA