
Soal Dugaan Korupsi di Kredit Macet, Ini Tanggapan dari LPEI

Jakarta, CNBC Indonesia - Kasus kredit macet di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank memasuki babak baru, yakni disidik atas dugaan korupsi di Kejaksaan Agung.
Kejagung menyebutkan kronologi perkara ini bermula dari Indonesia Eximbank telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT. Cipta Srigati Lestari, PT. Lautan Harmoni Sejahtera dan PT. Kemilau Harapan Prima serta PT. Kemilau Kemas Timur.
Pembiayaan kepada para debitur ini juga sesuai dengan laporan sistem informasi manajemen resiko dalam posisi colektibility 5 atau macet per tanggal 31 Desember 2019.
Menanggapi hal ini Corporate Secretary LPEI Agus Windiarto mengungkapkan pihaknya akan terus mengikuti proses sesuai ketentuan yang berlaku dan akan bersikap kooperatif selama proses hukum berlangsung. Hal ini juga merupakan bentuk tanggung jawab LPEI dalam dalam menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
"LPEI berkomitmen untuk terus melakukan perbaikan dan meningkatkan kapasitas usaha untuk mendukung sektor berorientasi ekspor sesuai dengan mandat. Kami menghargai perhatian dan dukungan media kepada LPEI dalam menjalankan mandatnya dan membantu pemulihan ekonomi nasional," kata Agus ketika dikonfirmasi CNBC Indonesia, Jumat (2/7/2021).
Dalam perkembangannya, Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung telah memeriksa 6 orang terkait kredit macet Rp 683,6 miliar di Group Wallet, yaitu PT Jasa Mulya Indonesia (JMI), PT Mulya Walet Indonesia (MWI) dan PT Borneo Walet Indonesia (BWI).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak menjelaskan bahwa LPEI di dalam penyaluran kredit diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet/non performing loan (NPL) pada 2019 sebesar 23,39%.
"Dimana berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp 4,7 triliun, dimana jumlah kerugian tersebut penyebabnya adalah dikarenakan adanya pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)," ujarnya.
Selanjutnya, tutur Leonard, berdasarkan statement di laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74% dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada profitabilitas (keuntungan). Kenaikan CKPN ini untuk mengkover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalah di antaranya disebabkan oleh ke - 9 debitur tersebut di atas.
"Bahwa salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah Grup Walet yaitu PT. Jasa Mulia Indonesia, PT. Mulia Walet Indonesia dan PT. Borneo Walet Indonesia dimana selaku Direktur Utama dari 3 (tiga) perusahaan tersebut adalah Sdr. S," ujarnya.
"Pihak LPEI yaitu tim pengusul, kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI," tambah dia.
Akibatnya, hal tersebut di atas menyebabkan debitur dalam hal ini Group Wallet yaitu PT. Jasa Mulya Indonesia, PT. Mulya Walet Indonesia dan PT. Borneo Walet Indonesia dikategorikan macet sehingga mengalami gagal bayar sebesar Rp 683,6 miliar yang terdiri dari nilai pokok Rp 576 miliar dan denda serta bungan Rp 107, 6 miliar.
(rah/rah)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kejagung Sidik Dugaan Korupsi pada Kredit Macet LPEI Rp 683 M