Review Semester I

Bukan Corona, Ini Yang Bikin Rupiah Anjlok 3% di Semester I

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 July 2021 11:25
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Paruh pertama tahun ini baru saja berakhir, pandemi penyakit virus corona (Covid-19) masih menghantui pasar keuangan Indonesia bahkan dunia. Tetapi, bukan virus corona yang membuat rupiah mencatat kinerja negatif di semester I-2021, tetapi inflasi di Amerika Serikat (AS).

Maklum saja, inflasi di AS yang sangat tinggi membuat pasar berekspektasi bank sentral AS (The Fed) akan mengetatkan kebijakan moneternya lebih cepat dari proyeksi sebelumnya. Dan ternyata benar kejadian.

Rupiah sebenarnya mengawali tahun ini dengan cukup impresif, berada di bawah Rp 14.000/US$. Level terkuat rupiah Rp 13.855/US$ yang dicapai pada 4 Januari lalu. Tetapi sayangnya rupiah malah berbalik melemah bahkan sempat ke atas Rp 14.600/US$.

Di akhir semester I-2021, rupiah berada di Rp 14.495/US$, dan mencatat pelemahan 3,24%.

Spekulasi The Fed akan menaikkan suku bunga lebih cepat sudah muncul di pasar finansial sejak bulan Maret lalu akibat inflasi yang tinggi. Data terbaru bahkan menunjukkan inflasi inti berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) di bulan Mei tumbuh 3,4% year-on-year (YoY). Pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 1992.

Inflasi PCE tersebut merupakan salah satu acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter. Data lain yang digunakan The Fed adalah pasar tenaga kerja.

Akhirnya, pada rapat kebijakan moneter bulan Juni, The Fed mengkonfirmasi hal tersebut.

The Fed kini memproyeksikan suku bunga bisa naik 2 kali di tahun 2023 masing-masing 24 basis poin hingga menjadi 0,75%.

Hal tersebut terlihat dari Fed Dot Plot, dimana 13 dari 18 anggota melihat suku bunga akan dinaikkan pada tahun 2023. 11 diantaranya memproyeksikan dua kali kenaikan.

idrFoto: Refinitiv


Proyeksi kenaikan suku bunga tersebut lebih cepat ketimbang perkiraan yang diberikan bulan Maret lalu, dimana mayoritas melihat suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2024.

Selain itu, dalam Fed Dot Plot terbaru, ada 7 anggota yang memproyeksikan suku bunga bisa naik pada tahun 2022.

Artinya, jika perekonomian AS semakin membaik, ada kemungkinan suku bunga akan naik tahun depan, jauh lebih cepat dari proyeksi sebelumnya. Dolar AS pun makin perkasa, dan rupiah terus tertekan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Naik Turun Kasus Corona di Indonesia

Pada akhir Januari lalu, kasus Covid-19 di Indonesia meroket, mencatat rekor penambahan lebih dari 14.000 kasus per hari saat itu. Meski demikian, rupiah masih bisa mempertahankan penguatan hingga pertengahan Februari.

Ketika kurva penambahan kasus melandai di bulan Maret dan April, di kisaran 4.000 kasus per hari, rupiah justru melemah tajam melawan dolar AS.

Artinya, naik turun kasus Covid-19 di Indonesia tidak berdampak signifikan pada pergerakan rupiah, apalagi setelah vaksinasi mulai dilakukan. Harapan perekonomian Indonesia bisa segara bangkit mulai muncul, yang tentunya berdampak positif bagi rupiah. Tetapi proyeksi kebijakan moneter The Fed masih menjadi penekan utama Mata Uang Garuda.

Apalagi, memasuki bulan April perekonomian Indonesia menunjukkan tanda-tanda kebangkitan dan akan lepas dari resesi di kuartal II-2021.

Sektor manufaktur kembali menunjukkan kenaikan di bulan Mei naik ke 55,3 yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa.

Terus meningkatnya ekspansi sektor manufaktur tentunya menjadi kabar bagus bagi Indonesia, dan memperkuat optimisme akan lepas dari resesi di kuartal II-2021. Sektor manufaktur sendiri berkontribusi sekitar 20% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Data lain menunjukkan konsumen semakin percaya diri melihat perekonomian saat ini dan beberapa bulan ke depan. Ini terlihat dari kenaikan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK).
Bank Indonesia (BI) melaporkan IKK periode Mei 2021 sebesar 104,4. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 101,5.

Konsumen yang semakin pede, menjadi indikasi peningkatan konsumsi, yang semakin menguatkan ekspektasi Indonesia lepas dari resesi di kuartal ini. Apalagi BI juga melaporkan penjualan ritel akhirnya mengalami pertumbuhan untuk pertama kalinya setelah mengalami kontraksi selama 16 bulan beruntun.

BI melaporkan penjualan ritel yang dicerminkan oleh Indeks Penjualan Riil (IPR) pada April 2021 berada di 220,4. Naik 17,3% MtM dan 15,6% YoY.

April merupakan awal kuartal II-2021, sehingga ekspektasi Indonesia lepas dari resesi semakin kuat.

Namun, laju pemulihan ekonomi Indonesia kini terancam terhambat akibat ledakan kasus Covid-19 di Indonesia dalam beberapa pekan terakhir, bahkan mencetak rekor tertinggi lebih dari 21.000 kasus per hari.

Pemerintah pun bersiap menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro Darurat yang lebih ketat di awal semester II-2021.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular