Ulasan Sepekan

Covid Ngeri! SBN Tenor Pendek Diburu, Tenor Panjang Diobral

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
26 June 2021 17:25
Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta CNBC Indonesia - Pasar obligasi nasional bergerak variatif sepanjang pekan ini (21-25 Juni), dengan koreksi imbal hasil (yield) surat utang tenor pendek, sementara tenor panjang menguat. Pemodal masih optimistis melihat prospek ekonomi meski diperberat risiko pandemi.

Mengacu pada data Revinitif, terlihat bahwa sepanjang pekan ini surat berharga negara (SBN) berjatuh tempo 10 tahun, yang menjadi acuan harga obligasi pemerintah, mencetak kenaikan imbal hasil sebesar 5,1 basis poin (bp) menjadi 6,527%.

Imbal hasil (yield) berlawanan dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang melemah, demikian juga sebaliknya.

Kenaikan yield mengindikasikan pemodal cenderung melepas surat berharga karena optimistis dengan prospek ekonomi dan ingin memburu aset non-obligasi yang lebih menguntungkan. Satu bp setara 1/100 dari 1%.

Pasar obligasi biasanya bergerak berlawanan dengan pasar saham, karena mencerminkan sikap defensif investor dalam menempatkan portofolionya. Ketika ekonomi tidak menentu, aset obligasi diburu dan sebaliknya ketika ekonomi dipersepsikan membaik maka investor beralih ke instrumen lain yang lebih berisiko tapi membagikan return lebih tinggi.

Namun demikian, investor masih menaruh satu kakinya di pasar obligasi, terlihat dari penurunan imbal hasil obligasi jangka pendek (yakni tenor 1 dan 5 tahun) yang terkoreksi masing-masing sebesar 16,2% dan 12,2%. Artinya, aksi beli masih terjadi pada surat utang tersebut.

Hal ini mengindikasikan bahwa investor mempersepsikan bahwa risiko perekonomian kian menurun, meski belum sepenuhnya aman. Mereka memburu obligasi jangka pendek (meski tingkat imbal hasilnya rendah) ketimbang obligasi jangka panjang (yang menawarkan imbal hasil tinggi tapi dengan risiko jangka panjang yang meningkat).

Pemicunya masih sentimen negatif dari dalam negeri berupa kenaikan angka Covid-19, yang sempat menyentuh rekor tertinggi sebanyak 20.574 kasus pada Kamis kemarin.

Ketika kasus Covid-19 terus memburuk, maka pembukaan kembali ekonomi pun berpeluang tertunda, karena bakal diperlukan pembatasan sosial untuk menekan penyebaran virus.

Padahal, kabar bagus telah muncul dari Amerika Serikat (AS), di mana bos bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) Jerome Powell mengungkapkan bahwa The Fed tidak akan terburu-buru menaikkan suku bunga acuan. Percepatan laju inflasi saja tidak cukup memicu penaikan Federal Funds Rate, apalagi inflasi AS dipandang hanya bersifat sementara.

"Kami tidak akan menaikkan suku bunga hanya karena kekhawatiran kemungkinan percepatan laju inflasi. Kami akan menunggu lebih banyak bukti mengenai inflasi. Percepatan laju inflasi saat ini belum mencerminkan ekonomi secara keseluruhan, tetapi adalah efek langsung dari reopening," jelas Powell.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jelang Rilis Data Inflasi AS, Yield SBN Lanjut Melandai

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular