
Harga Bitcoin Cs Ambruk Lagi, Dibayangi 'Death Cross'

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mata uang kripto (cryptocurrency) dengan nilai kapitalisasi pasar (market cap) terbesar ambles dalam kurun waktu 24 jam terakhir.
Menurut data coinmarketcap.com, pukul 15.00 WIB, harga koin kripto tertua dan terbesar, Bitcoin, anjlok 5,34% ke bawah level support US$ 36.000, yakni US$ 35.726,49 dibandingkan hari sebelumnya. Sebenarnya, dalam sepekan Bitcoin masih naik tipis 1,17%.
Para investor masih khawatir tentang 'death cross' yang menjulang, yang dapat mengindikasikan pergeseran dari tren harga bullish ke bearish.
Asal tahu saja, death cross ditentukan oleh persilangan rata-rata pergerakan 50 hari (MA50) di bawah rata-rata pergerakan 200 hari (MA200), yang dapat terjadi selama akhir pekan.
Namun, menurut Coindesk.com, sejumlah analis tetap bullish pada bitcoin terhadap ekuitas.
"Ketika gelombang ekuitas turun kembali suatu hari nanti, kita mengharapkan bitcoin dan emas menjadi penerima manfaat utama," tulis Mike McGlone, ahli strategi komoditas di Bloomberg Intelligence dalam laporan Jumat.
Anjloknya Bitcoin hari ini menjalar ke koin-koin lainnya (alt coin). Ethereum, misalnya, merosot 4,37% ke posisi US$ 2,241,22. Dalam sepekan, harga Ethereum juga ambles 3,03%.
Koin meme, Dogecoin, juga menyusut 3,66% ke US$ 0,292 hari ini, sementara dalam seminggu juga tersungkur 4,82%.
Dari 10 besar koin kripto dengan market cap jumbo, hanya koin Tether yang berhasil naik tipis, yakni 0,01% ke US$ 1,00 pada hari ini dan 0,02% dalam sepekan.
Selain itu, menurut catatan CNBC Indonesia, beberapa analis memperkirakan Bitcoin akan tetap tangguh jika inflasi terus meningkat, yang dapat menyebabkan kinerja pasar kripto lebih baik dibandingkan dengan pasar keuangan lainnya.
Dalam buletin yang diterbitkan oleh EQUOS, perusahaan layanan keuangan digital pada Rabu lalu, menggambarkan bahwa penurunan awal di seluruh aset berisiko sebagai "reaksi spontan."
"Bitcoin dan saham kemungkinan akan bersama-sama melewati masa turbulensi, namun inflasi yang meninggi kemungkinan akan membuat Bitcoin lebih unggul dari saham," tulis EQUOS, dikutip dariCoinDesk.
Bitcoin dianggap sebagai aset lindung nilai (hedging) dari inflasi, tetapi mungkin saja kripto mendapat manfaat lebih dari kebijakan moneter longgar yang terjadi di saat inflasi meninggi.
Hal itu bisa berubah jika The Fed lebih cepat memutuskan untuk mengurangi pembelian obligasi senilai US$ 120 miliar per bulan atau disebut jugaquantitative easing(QE).
"Kami berharap The Fed akan mengumumkan paling lambat Desember tahun ini bahwa QE akan diturunkan mulai Januari 2022 mendatang," tulis MRB Partners dalam buletin Rabu.
Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) juga memperkirakan inflasi tahun ini bakal lebih tinggi dari perkiraan semula, menjadi 3,4% atau jauh di atas target jangka panjangnya sebesar 2%. Inflasi yang tinggi ini menjadi pemicu The Fed menjadi lebih agresif (hawkish) menaikkan suku bunga.
Powell tak memberikan acuan mengenai kapan pengurangan pembelian (tapering) obligasi dari pasar sekunder bakal dimulai.
Dia hanya menyatakan bahwa pemulihan ekonomi terus dipantau dan akan membuat "pemberitahuan awal" sebelum mengumumkan kebijakan tersebut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(adf/adf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gerak Bitcoin di Situ-Situ Aja, yang Lain Malah Banyak Boncos