Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah mencatat pelemahan 5 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (18/6/2021). Total pelemahan sepanjang periode buruk tersebut sebesar 1,3%.
Rupiah mengakhiri perdagangan hari ini di Rp 14.370/US$, posisi penutupan terlemah sejak 6 Mei lalu. Bahkan, di awal perdagangan rupiah sempat nyaris mencapai Rp 14.400/US$.
Di tengah buruknya kinerja rupiah tersebut, survei 2 mingguan Reuters menunjukkan peningkatan posisi beli (long) rupiah, sementara mayoritas mata uang utama Asia lainnya justru mengalami penurunan.
Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.
Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.
Survei terbaru yang dirilis Kamis (18/6/2021) menunjukkan angka untuk rupiah di -0,50, lebih besar ketimbang 2 pekan lalu -0,40. Pelaku pasar kini mengambil posisi long dalam 3 survei beruntun, setelah sebelumnya berada di posisi short dalam 6 survei beruntun.
Sementara itu, yuan China, won Korea Selatan, dolar Singapura, rupee India hingga peso Filipina mengalami penurunan posisi long.
Posisi long yang semakin meningkat artinya pelaku pasar semakin optimistis rupiah akan menguat ke depannya.
Tetapi, patut diingat survei tersebut dilakukan sebelum bank sentral AS (The Fed) mengumumkan kebijakan moneternya, sehingga ada kemungkinan akan berubah drastis pada survei selanjutnya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rupiah Tertekan Luar Dalam
Rupiah mengalami tekanan hebat sejak The Fed mengumumkan kebijakan moneter Kamis kemarin. The Fed mengindikasikan suku bunga akan naik pada tahun 2023. Tidak hanya sekali tetapi dua kali kenaikan masing-masing 25 basis poin.
Hal tersebut terlihat dari Fed Dot Plot, dimana 13 dari 18 anggota melihat suku bunga akan dinaikkan pada tahun 2023. 11 diantaranya memproyeksikan dua kali kenaikan.
Proyeksi kenaikan suku bunga tersebut lebih cepat ketimbang perkiraan yang diberikan bulan Maret lalu, dimana mayoritas melihat suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2024.
Selain itu, dalam Fed Dot Plot terbaru, ada 7 anggota yang memproyeksikan suku bunga bisa naik pada tahun 2022.
 Foto: Refinitiv |
Artinya, jika perekonomian AS semakin membaik, ada kemungkinan suku bunga akan naik tahun depan, jauh lebih cepat dari proyeksi sebelumnya.
Sementara itu kapan tapering atau pengurangan nilai pembelian aset (quantitative easing/QE) masih belum terjawab. Tapering dapat memicu taper tantrum, dan pernah terjadi pada tahun 2013. Saat itu, rupiah terpukul hebat.
The Fed dalam pengumuman kebijakan moneternya tidak menyebutkan mengenai masalah tapering, tetapi menyiratkan sudah mendiskusikan hal tersebut.
Tetapi, jika suku bunga akan dinaikkan lebih cepat dari sebelumnya, artinya tapering juga kemungkinan besar akan lebih cepat, terjadi di semester II tahun ini. Apalagi The Fed juga menaikkan proyeksi inflasi tahun ini menjadi 3,4% dari sebelumnya 2,4%.
"Jika The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali di tahun 2023, mereka harus mulai melakukan tapering lebih cepat untuk mencapai target tersebut. Tapering dalam laju yang moderat kemungkinan akan memerlukan waktu selama 10 bulan, sehingga perlu dilakukan di tahun ini, dan jika perekonomian menjadi sedikit panas, maka suku bunga bisa dinaikkan lebih cepat lagi," kata Kathy Jones, kepala fixed income di Charlers Schwab, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (17/6/2021).
Sementara itu dari dalam negeri, lonjakan kasus penyakit virus corona (Covid-19) membuat rupiah semakin tertekan.
Satgas Penanganan Covid-19 mencatat per Kamis (17/6/2021) kasus harian Covid-19 di Indonesia menembus 12.624 kasus, menjadi kenaikan tertinggi sejak 30 Januari lalu.
Lonjakan kasus dalam beberapa pekan terakhir tentunya membuat pelaku pasar cemas Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang lebih ketat bisa kembali diterapkan.
Jika PPKM diketatkan, maka pemulihan ekonomi terancam tersendat lagi.
TIM RISET CNBC INDONESIA