
Dolar AS Diramal Jeblok hingga 6%, Rupiah Siap Menguat?

JAkarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah sukses membukukan penguatan 2 bulan beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS), dan di awal Juni ini juga menunjukkan kinerja yang positif. Masa depan rupiah terlihat cerah, sebab dolar AS sedang galau, dan perekonomian Indonesia diprediksi lepas dari resesi di kuartal II tahun ini.
Melansir data Refinitiv, rupiah mampu menguat 1,14% di Mei, dan 0,55% bulan sebelumnya. Sementara sepanjang Juni hingga hari ini rupiah menguat 0,11% ke Rp 14.260/US$.
Kemana arah dolar AS ke depannya masih belum jelas. Sebab perekonomian negeri Paman Sam menunjukkan pemulihan, tetapi bank sentral AS (The Fed) masih belum "puas" dengan kemajuan tersebut dan belum akan merubah kebijakan moneternya.
Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu pejabat The Fed merespon rilis data tenaga kerja AS. Tetapi, pendapat para pejabat The Fed juga terbelah, yang membuat dolar AS menjadi galau.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang bulan Mei terjadi penambahan tenaga kerja di luar sektor pertanian sebanyak 559.000 orang, di bawah estimasi survei Dow Jones terhadap para ekonom yakni 671.000 orang. Sementara tingkat pengangguran turun menjadi 5,8% dari sebelumnya 6,1%.
Meski data tenaga kerja AS cukup solid, tetapi banyak analis yakin data tersebut masih belum cukup membuat bank sentral AS (The Fed) untuk mengurangi nilai program pembelian asetnya (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilah tapering.
Alhasil, indeks dolar AS pada hari Jumat merosot 0,47%, padahal hari sebelumnya melesat 0,67%.
Presiden The Fed wilayah Cleveland, Lorreta Mester, juga menyatakan data tenaga kerja AS bagus tetapi masih belum cukup untuk merubah kebijakan moneter.
"Saya melihat ini sebagai kemajuan yang terus dibuat pasar tenaga kerja, tentunya kabar yang sangat bagus. Tetapi, saya ini melihat kemajuan lebih jauh," kata Mester dalam acara "Squawk on the Street" CNBC International, Jumat (4/6/2021).
Sementara itu pada pekan lalu, Presiden The Fed wilayah Philadelphia, Patrick Harker, mengatakan perekonomian AS terus menunjukkan pemulihan dari krisis virus corona dan pasar tenaga kerja terus menunjukkan penguatan, dan menjadi saat yang tepat bagi The Fed untuk mulai memikirkan tapering.
"Kami berencana mempertahankan suku bunga acuan di level rendah dalam waktu yang lama. Tetapi ini mungkin saatnya untuk mulai memikirkan pengurangan program pembelian aset yang saat ini senilai US$ 120 miliar," kata Harker sebagaimana dilansir Reuters.
Selain pejabat The Fed, para analis juga berbeda pendapat kemana arah dolar AS ke depannya. Reuters mengadakan survei pada 28 Mei hingga 3 Juni terhadap 63 analis.
Hasilnya, sebanyak 33 orang mengatakan pelemahan dolar AS sudah selesai, sementara sisanya memprediksi dolar AS masih akan melemah 0,5% hingga 6% dalam tiga bulan ke depan.
"Saya benar-benar bingung mengenai apa yang akan terjadi 3 bulan ke depan, kita pada akhirnya akan melihat The Fed memberikan pernyataan tapering yang lebih tegas, membuat pasar dipenuhi ketidakpastian," kata John Hardy, kepala strategi valuta asing di Saxo Bank, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (4/6/2021).
Posisi jual (short) dolar AS saat ini juga berada di level tertinggi sejak akhir Februari, yang tentunya memperburuk sentimen terhadap the greenback.
Nilai net short dolar AS pada pekan yang berakhir 25 Mei dilaporkan sebesar US$ 27,89 miliar, naik tajam dibandingkan posisi net short sepekan sebelumnya US$ 15,07 miliar.
Naiknya posisi net short tersebut menunjukkan semakin banyak pelaku pasar yang "membuang" dolar AS sebab diprediksi nilainya akan akan melemah.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Optimisme Indonesia Lepas dari Resesi Topang Rupiah