Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memaparkan bahwa alasan menumpuknya utang PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) hingga mencapai Rp 70 triliun disebabkan karena biaya sewa (leasing) pesawat yang di luar batas wajar.
Wakil Menteri BUMN Kartiko Wirjoatmodjo mengatakan menyebut beberapa tipe pesawat yang menyebabkan kenaikan biaya-biaya tersebut.
"Memang permasalahan utama Garuda di masa lalu, karena leasing-leasing [sewa pesawat] melebihi cost yang wajar dan jenis pesawatnya terlalu banyak, contoh ada Boeing 737, Boeing 777, Airbus A320, A330, ATR, dan Bombardier, ini efisiensinya bermasalah, ditambah rute yang banyak diterbangi itu tidak profitable," kata Kartika dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi IV DPR RI, Kamis ini (3/6/2021).
Tiko menjelaskan duduk perkara utang Garuda selama ini, mulai dari beban biaya yang tak wajar, jenis pesawat yang terlalu banyak, dan rute penerbangan yang tidak menguntungkan.
Nyatanya, dari berbagai rute penerbangan yang dimiliki perusahaan, baik di dalam dan ke luar negeri tidak semuanya memberikan keuntungan untuk perusahaan. Sebab, penerbangan ke luar negeri ternyata masih merugi sejak sebelum pandemi.
Tiko mengungkapkan, saat ini biaya yang dikeluarkan Garuda dalam periode satu bulan nilainya mencapai US$ 150 juta atau setara Rp 2,15 triliun (kurs Rp 14.300/US$), sementara itu pendapatan per bulan hanya mencapai US$ 50 juta atau Rp 715 miliar, sehingga kerugian per bulan mencapai US$ 100 juta atau setara dengan Rp 1,43 triliun.
Selain itu, yang jadi permasalahan baru yakni perubahan pengakuan kewajiban yang harus disampaikan dalam laporan keuangan sesuai dengan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) di mana kewajiban harus dicatatkan sebagai utang, dari ketentuan sebelumnya sebagai biaya operasi atau operational expenditure (opex).
"Tadi sudah disampaikan Pak Menteri [Menteri BUMN Erick Thohir]. Sebenarnya dalam negeri itu, sebelum Covid-19 itu Garuda untung, tapi luar negerinya rugi, ini penyakit lama, tapi setelah Covid-19, ada permasalahan baru, yaitu perubahan pengakuan kewajiban di mana operasional lease [sewa pesawat] tadinya dicatat sebagai opex jadi utang," terangnya.
Dengan demikian Garuda yang tadinya sekitar Rp 20 triliun, bengkak jadi Rp 70 triliun.
"Yang memang secara PSAK dicatatkan, diharuskan dicatat sebagai kewajiban, ini membuat posisi secara neraca insolvensi [tak mampu bayar kewajiban tepat waktu], karena antara utang dan ekuitasnya sudah tidak memadai mendukung neraca keuangan," terangnya.
Saat ini perusahaan, bersama dengan kementerian tengah berupaya untuk melakukan restrukturisasi utang-utang tersebut yang sifatnya fundamental, utang Garuda yang mencapai US$ 4,5 miliar atau setara Rp 64 triliun (kurs Rp 14.300/US$) itu harus diturunkan di kisaran US$ 1-1,5 miliar atau kisaran Rp 14,3-21,45 triliun.
"Secara sederhana EBITDA [laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi] Garuda sekitar US$ 200-250 juta, secara kondisi keuangan yang normal, itu [utang] maksimum rasionya 6 kali [dari EBITDA], jadi US$ 250 dikali 6, maka sekitar US$ 1,5 miliar, kalau di atas itu [utang] maka Garuda gak akan bisa going concern karena tak akan bisa membayar utang-utangnya," lanjutnya.
Kementerian secara intensif berbicara dengan manajemen, termasuk kepada pemegang saham minoritas, juga Kementerian Keuangan soal bagaimana proses restrukturisasi Garuda ke depan harus mampu mengurangi utang-utangnya.
"Apabila Garuda bisa melakukan restrukturisasi secara massal dengan seluruh lender, lessor [penyewa pesawat], dan pemegang sukuk global, dan juga melakukan cost reduction [pengurangan biaya], harapannya cost bisa menurun 50% atau lebih, maka Garuda bisa survive pascarestrukturisasi," ungkapnya.
Bahkan kementerian sudah menunjuk konsultan hukum dan keuangan untuk memulai proses restrukturisasi Garuda. Selain itu memang segera dilakukan moratorium utang atau standstill agreement (menghentikan sementara pembayaran bunga) dalam waktu dekat ini.
"Karena tanpa moratorium, cash Garuda akan habis dalam waktu pendek sekali, ini yang akan kami tangani segera," imbuh dia.
"Apabila Garuda bisa melakukan restrukturisasi secara massal dengan seluruh lender, lessor, dan pemegang sukuk global, dan juga melakukan cost reduction [pengurangan biaya], harapannya cost bisa menurun 50% atau lebih, maka Garuda bisa survive pascarestukturisasi.."
Dia mengatakan, diharapkan dalam 270 hari setelah dilakukan moratorium utang maka bisa dilakukan restrukturisasi.