
Sedang Perkasa, Rupiah Bisa ke Rp 14.000/US$ Pekan Ini?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah membukukan penguatan 0,6% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.195/US$ dalam 2 hari perdagangan pekan lalu sebelum libur Hari Raya Idul Fitri. Mata Uang Garuda sukses menguat dalam 4 pekan beruntun dan berada di level terkuat sejak 26 Februari.
Rupiah memang sedang garang dalam beberapa pekan terakhir, sebabnya aliran modal yang kembali masuk ke pasar obligasi. Sejak bulan April lalu hingga hingga 7 Mei, tercatat capital inflow di pasar obligasi sekitar Rp 15 triliun, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan.
Kabar baiknya lagi, Fitch Solutions memberi 'ramalan' yang cukup positif bagi Indonesia. Ekonomi Tanah Air diperkirakan tumbuh 5,5% pada 2021 setelah tahun sebelumnya terkontraksi (tumbuh negatif) 2,07%.
"Faktor eksternal sepertinya masih akan bagus seiring pemulihan permintaan dunia," sebut laporan Fitch Solutions.
Sementara untuk nilai tukar rupiah, mengutip proyeksi terbaru Fitch Solutions, pada akhir 2021 posisi rupiah diperkirakan ada di Rp 13.900/US$.
Sementara itu dolar AS sempat mengamuk pada pekan lalu setelah rilis data inflasi yang tinggi.
Departemen Tenaga Kerja AS Rabu lalu melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan April melesat atau mengalami inflasi 4,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Rilis tersebut jauh lebih tinggi ketimbang hasil survei Dow Jones sebesar 3,6%.
Sementara dari bulan Maret atau secara month-to-month (mtm) tumbuh 0,8%, juga jauh lebih tinggi dari survei 0,2%.
Sementara inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan tumbuh 3% yoy dan 0,9% mtm, lebih dari dari ekspektasi 2,3% yoy dan 0,3% mtm.
Kenaikan inflasi secara tahunan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 2008, sementara secara bulanan terbesar dalam 40 tahun terakhir.
Meski demikian, penguatan dolar tidak berlangsung lama, sebab indeks dolar AS berbalik merosot lagi pada hari Jumat pekan lalu. Sebabnya, satu data inflasi yang tinggi belum akan cukup bagi bank sentral AS (The Fed) untuk mengetatkan kebijakan moneternya.
The Fed sebelumnya sudah memperkirakan inflasi akan tinggi, tetapi hanya sementara.