
Pekan Ini Cuma Dibuka 2 Hari, Tapi IHSG Menguat 0,17%

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham Indonesia pada pekan ini hanya diperdagangkan selama dua hari, yakni Senin (10/5/2021) dan Selasa (11/5/2021), karena adanya libur panjang memperingati Hari Raya Idul Fitri 1442 H.
Pekan ini atau selama dua hari, IHSG menguat 0,17%. Pada perdagangan akhir pekan yang berakhir Selasa (11/5/2021), IHSG ditutup melemah 0,63% ke level 5.938,35.
Selama sepekan, nilai transaksi IHSG mencapai Rp 12,08 miliar dan investor juga masih memborong saham-saham di pasar reguler sebanyak Rp 965 miliar sepanjang pekan ini.
Di kawasan Asia, mayoritas bursa saham di kawasan tersebut melemah pada pekan ini. Nikkei Jepang merosot 4,34%, Hang Seng Hong Kong melemah 2,04%, Straits Times Index (STI) Singapura terkoreksi 3,72%, dan KOSPI Korea Selatan terdepresiasi 1,37%.
Sementara untuk Shanghai Composite China pada pekan ini terpantau masih menguat 2,09%.
Adapun untuk bursa saham Amerika Serikat (AS) pada pekan ini juga terpantau kompak melemah. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 1,14%, S&P 500 merosot 1,39%, dan Nasdaq Composite terkoreksi 2,34%.
Pelemahan bursa Asia dan AS pada pekan ini sepertinya diakibatkan oleh kekhawatiran investor akan naiknya inflasi AS yang dapat merubah kebijakan suku bunga rendah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed). Sebab, salah satu indikator ekonomi yang dijadikan acuan The Fed untuk menerapkan kebijakan moneter yakni Indeks Harga Konsumen (IHK), melesat tajam.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan April melesat atau mengalami inflasi 4,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Rilis tersebut jauh lebih tinggi ketimbang hasil survei Dow Jones sebesar 3,6%.
Sementara dari bulan Maret atau secara month-to-month (mtm) tumbuh 0,8%, juga jauh lebih tinggi dari survei 0,2%.
Sementara inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan tumbuh 3% yoy dan 0,9% mtm, lebih dari dari ekspektasi 2,3% yoy dan 0,3% mtm.
Kenaikan inflasi secara tahunan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 2008, sementara secara bulanan terbesar dalam 40 tahun terakhir.
The Fed sebenarnya menggunakan inflasi berdasarkanPersonal Consumption Expenditure (PCE) sebagai acuan, meski demikian inflasi IHK yang tinggi juga bisa menjadi indikasi inflasi PCE akan melesat.
The Fed menetapkan target inflasi rata-rata 2%, jika dalam beberapa bulan ke depan inflasi konsisten di atas target tersebut, bukan tidak mungkin The Fed dalam waktu dekat mempertimbangkan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilahtapering.
QE yang digelontorkan senilai US$ 120 miliar per bulan sejak Maret 2020 merupakan salah satu alasan bursa saham dunia mampu bangkit dari keterpurukan saat mengalami aksi jual di bulan yang sama tahun lalu.
Alhasil, jika QE dikurangi atau munculnya ekspektasi tapering maka pasar saham merespon negatif.
Namun, sentimen positif dari Negeri Paman Sam juga hadir di pasar pada pekan ini. Sentimen tersebut yakni kebijakan tak wajib memakai masker bagi orang-orang yang sudah divaksin corona (Covid-19).
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control/CDC) menghapus persyaratan masker untuk orang-orang yang sudah menerima vaksinasi Covid-19 secara penuh atau berada pada jarak 1,8 meter atau 6 kaki.
Ketentuan ini berlaku baik di dalam maupun luar ruangan, seperti yang disampaikan oleh CDC dalam panduan kesehatan masyarakat yang diperbarui yang dirilis Kamis (13/5/2021).
Ini merupakan momen penting, setelah setahun lebih pemerintah AS mesyaratkan masyarakat menggunakan masker di depan umum.
Dalam panduan tersebut, ada beberapa contoh di mana orang masih perlu memakai masker, di tempat perawatan kesehatan atau di bisnis yang memerlukannya. Ketentuan ini juga berlaku bagi orang yang sudah mendapatkan dosis vaksin terakhirnya dua minggu atau lebih, diperkenankan tidak menggunakan masker.
Kebijakan terbaru dari pemerintah AS tersebut memicu optimisme pelaku pasar akan semakin membaiknya perekonomian negeri Paman Sam. Bahkan banyak ekonom, termasuk bank sentral AS (The Fed) memperkirakan produk domestik bruto (PDB) di tahun ini akan menjadi yang terbaik sejak tahun 1984.
Bangkitnya AS yang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tentunya dapat mengerek PDB negara lain termasuk di Asia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article IHSG Balas Dendam, tapi Apa Kuat ke 7.000 Lagi?