
Pasca Anjlok 1% Lebih, Bagaimana Nasib Emas ke Depannya?

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia belum banyak bergerak pada perdagangan Kamis (13/5/2021) setelah anjlok tajam Rabu kemarin. Meski demikian, harga emas masih mampu bertahan di atas US$ 1.800/troy ons, dan hal tersebut dikatakan menjadi kabar bagus.
Melansir data Refinitiv, pada pukul 12:57 WIB, harga emas dunia diperdagangkan di kisaran US$ 1.816,01/troy ons, menguat tipis di 0,03% di pasar spot. Kemarin logam mulia ini anjlok 1,17% setelah mencapai level tertinggi dalam 3 bulan terakhir.
Gary Wagner, editor di TheGoldForecast.com, kepada Kitco mengatakan emas akhirnya berhasil mempertahankan momentum penguatan ketika sukses melewati US$ 1.800/troy ons. Wagner juga memprediksi emas akan kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa, tetapi perlu waktu bertahun-tahun ke depan.
Sementara untuk di tahun ini, emas menurutnya masih berpeluang naik ke US$ 1.900/troy ons.
"Saya percaya kita akan melihat emas mencetak rekor tertinggi sepanjang masa lagi. Tetapi, dalam waktu dekat, katakanlah 4 bulan ke depan hal tersebut menurut saya tidak akan terjadi. Tetapi, berdasarkan beberapa parameter, kita akan melihat emas menguji lagi US$ 1.900/troy ons dalam beberapa bulan ke depan," kata Wagner, sebagaimana dilansir Kitco, Rabu (12/5/2021).
Kemarin, harga emas dunia anjlok lebih dari 1% setelah indeks dolar AS melesat 0,63% pasca rilis data inflasi. Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan April melesat atau mengalami inflasi 4,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Rilis tersebut jauh lebih tinggi ketimbang hasil survei Dow Jones sebesar 3,6%.
Sementara dari bulan Maret atau secara month-to-month (mtm) tumbuh 0,8%, juga jauh lebih tinggi dari survei 0,2%.
Sementara inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan tumbuh 3% yoy dan 0,9% mtm, lebih dari dari ekspektasi 2,3% yoy dan 0,3% mtm.
Kenaikan inflasi secara tahunan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 2008, sementara secara bulanan terbesar dalam 40 tahun terakhir.
Alhasil data tersebut kembali memunculkan spekulasi bank sentral AS (The Fed) akan mengetatkan kebijakan moneternya lebih cepat dari perkiraan, dolar AS pun mengamuk.
The Fed dalam rapat kebijakan moneter bulan April lalu memutuskan mempertahankan suku bunga acuan 0,25% serta program pembelian obligasi (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan. Suku bunga The Fed baru akan dinaikkan setidaknya di tahun 2023.
The Fed menetapkan target inflasi rata-rata 2%, jika dalam beberapa bulan ke depan inflasi konsisten di atas target tersebut, bukan tidak mungkin The Fed dalam waktu dekat mempertimbangkan mengurangi nilai QE atau yang dikenal dengan istilah tapering.
Selain itu, data dari perangkat FedWatch CME Group menunjukkan pelaku pasar kini melihat ada peluang sebesar 13% suku bunga akan dinaikkan menjadi 0,5% di bulan Desember nanti. Probabilitas tersebut mengalami kenaikan cukup signifikan, sebab dalam beberapa pekan terakhir masih 1 digit persentase saja. Selain itu ada probabilitas setengah persen suku bunga akan dinaikkan menjadi 0,75%.
Selain memicu penguatan dolar AS, emas juga kurang diuntungkan oleh ekspektasi pengetatan moneter The Fed. Sebab, suku bunga rendah serta QE merupakan bahan bakar utama emas untuk menguat yang membawa harganya mencetak rekor tertinggi sepanjang masa US$ 2.072,49/troy ons.
Tetapi di sisi lain, emas merupakan aset lindung nilai terhadap inflasi. Sehingga kenaikan tajam inflasi di AS jika terus berlanjut bisa jadi akan memicu permintaan emas.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bikin Shock! Emas Jeblok 4,5% dalam Tempo 15 Menit, Ada Apa?
