
Ini Dia Investasi yang Efisien, Transparan, dan Fleksibel

Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia mulai melirik beberapa variasi investasi seperti saham dan cryptocurrency. Keduanya pun kini bisa mudah dilakukan secara digital, dan bisa dilakukan dimana saja. Sayangnya, banyak dari mereka yang melakukan investasi tanpa tahu faktor apa saja yang harus diperhatikan, karena tujuan utamanya hanya profit.
Selain profit, banyak faktor lain yang perlu diperhatikan dalam berinvestasi seperti modal yang dibutuhkan dan profil risiko. Saham misalnya, untuk mendapatkan return maksimal membutuhkan analisis mendalam baik fundamental maupun teknikal. Seringkali dalam hal tersebut membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk menghasilkan return secara konsisten.
Modal yang dibutuhkan ketika berinvestasi saham juga perlu diperhatikan. Meskipun kita bisa menemukan saham seharga Rp 50 atau bahkan Rp 1 per lembarnya di BEI, namun tentu bukan hal yang mudah untuk mendapatkan saham yang bagus dengan modal Rp 100.000.
Faktor profil risiko tentu juga tidak bisa dihiraukan. Berinvestasi tanpa tidur yang nyenyak tentu tidak akan menghasilkan return yang optimal dan kehidupan yang sehat. Seluruh faktor tersebut tentunya butuh pertimbangan yang lebih ekstra lagi apabila kita ingin berinvestasi di cryptocurrency, yang bahkan masih banyak diperdebatkan untuk diklasifikasikan sebagai sebuah instrumen investasi.
Namun, bukan berarti calon investor pemula lantas tidak punya pilihan lain untuk berinvestasi. Pada tahun 1973, seorang ekonom dan praktisi investasi bernama Burton Malkiel dalam buku legendarisnya yang berjudul "A Random Walk Down Wallstreet" menyarankan para investor ritel pemula untuk berinvestasi pada reksa dana indeks (index fund) yang rendah biaya.
Burton mengatakan tidak seperti reksa dana saham yang membutuhkan kemampuan stockpicking (active management) yang handal dari para manajer investasi. Reksa dana indeks berisikan saham-saham dari indeks yang digunakan, sehingga para fund manager tidak perlu repot-repot untuk melakukan stockpicking karena mereka hanya perlu memilih indeks yang tepat.
Hal tersebut dilakukan agar saham-sahamnya dapat dikemas dalam reksa dana tersebut (passive management). Pengemasan secara berbeda ini pun berdampak pada rendahnya biaya pengelolaan (management fee) yang membuat return yang diterima menjadi lebih optimal.
Seiring berjalannya waktu dan popularitasnya yang semakin berkembang, di awal 1990an, reksa dana indeks tersebut akhirnya dapat diperdagangkan seperti saham di bursa efek dan kini disebut dengan Exchange Traded Fund (ETF). Tepatnya, pada tahun 1993, ETF pertama di dunia yang bernama SPDR S&P 500 Trust ETF (SPY) telah tercatat di New York Stock Exchange (NYSE) Arca dan kini telah menjadi ETF dengan AUM terbesar ($327 miliar) dan paling aktif ditransaksikan di seluruh dunia.
Saat ini, perkembangan ETF di dunia sangat pesat, menurut Statista.com, tercatat lebih dari 7.000 ETF di dunia dengan perkiraan AUM sebesar US$ 8 triliun di 2021.
Fenomena perkembangan ETF ini pun terjadi di Indonesia. Sejak pertama kali diluncurkan pada tahun 2007 oleh Indo Premier dengan nama Premier ETF LQ-45 (R-LQ45X), ETF saham di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan dalam 5 tahun terakhir.
Data Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan bahwa per akhir Maret 2021, jumlah ETF yang diperdagangkan di BEI sudah mencapai 48 produk, terbesar di ASEAN. Meski jika dibandingkan dengan negeri Paman Sam masih lebih kecil, karena di Amerika Serikat sudah tercatat sebanyak lebih dari 2.000 ETF.
Hal ini tentu tidak lepas dari kemudahan yang ditawarkan, baik kepada investor pemula, investor berpengalaman, maupun manajer investasi sebagai pengelolanya. Dengan singkatan yang sama (Efisien, Transparan, Fleksibel), ETF yang juga disebut dengan 'reksa dana bursa' menawarkan semua karakteristik yang terdapat pada reksa dana dan saham sekaligus.
Berbeda dengan reksa dana konvensional, investor dapat membeli ETF kapan pun selama jam perdagangan bursa. Namun, berbeda juga dengan saham pada umumnya, investor dapat memiliki sekumpulan saham-saham berkualitas sekaligus dengan modal mulai dari Rp 100.000.
Dengan 26 ETF yang memiliki total dana kelolaan (AUM) sebesar lebih dari Rp 9 triliun, Indo Premier Sekuritas dan Indo Premier Investment Management menjadi pionir ETF terbesar di Indonesia. Indo Premier melihat tingginya minat masyarakat pada investasi bukan hanya meningkatkan nilai transaksi ETF melalui aplikasi IPOTnya, namun juga tingkat literasi investor Indonesia.
Sesuai dengan kampanye #SemuaBisaInvestasi yang tengah dijalankan, Indo Premier sepertinya ingin memastikan bahwa calon investor dan investornya sudah memahami instrumen investasi yang sedang diminati.
Pada 2020, terdapat lebih dari 38 ribu peserta yang mengikuti kegiatan edukasi mengenai ETF yang dilakukan Indo Premier. Hal ini menunjukkan tingginya minat masyarakat Indonesia mengenai investasi, khususnya ETF yang masih terdengar baru di telinga masyarakat awam.
Tingginya minat investor pada kegiatan edukasi ini juga menunjukkan masih ada alternatif investasi yang cocok dengan profil risiko dan potensi return, termasuk untuk para investor pemula. Pandemi Covid-19 membuat jumlah investor baru membludak, adanya edukasi yang masif membuat mereka tidak lagi terjebak dalam fenomena sesaat dari banyaknya investasi yang masih meragukan.
(rah/rah)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Binance Digugat CFTC, Bitcoin Cs Berguguran?